BAGIAN 9 || 3A

44 5 0
                                    

Aqila membalas tatapan dingin cowok itu. "Sebab Angel suka sama lo."

Angel menatap Aqila kesal, ia melipatkan kedua tangan di depan dada. Menghembuskan napas kasar, melirik mata elang nan indah punya Aksel dalam-dalam. Angel bergerak, berpindah tempat untuk berdiri di samping Aksel, menatap Aqila yang sekarang ada di hadapannya dan juga Aksel.

Apa salahnya menyukai sahabat sendiri?

Menurut Angel, egois itu berhak. Setiap manusia bertahan hidup karena ego, bukan?

"Terus?" tanya Aksel yang begitu tak peduli dengan masalah kedua sahabatnya.

Lagian, kenapa juga harus berdebat karena rasa suka?

Aqila menggigit bibir bawahnya, berdeham kecil, gugup ingin berkata. "Selain suka, dia juga cinta," tandas Aqila lugas.

Aksel menghembuskan napas kasar, ia menoleh sekilas ke arah Angel yang gayanya sudah siap untuk berperang. Dagu cewek itu sedikit mendongak, rambut panjangnya dicepol asal dan posisi tangan masih sama.

"Ngel," panggil Aksel dingin. Tentu saja Angel menoleh dengan gerakan cepat.

"Aksel, perasaan yang udah ada sejak dulu. Gak bisa dihilangin," ujar Angel. Menatap bola mata hitam pekat cowok itu.

Cewek manja yang selalu merepotkan Aksel, kini menarik napas panjang, lalu membuang dengan pelan, mengatur emosi yang sudah membludak saat ini.

"Angel suka, cinta, dan bahkan sayang sama Aksel. Hati Angel kayak ditusuk ribuan jarum saat Aksel nempel terus sama Aqila. Setiap persahabatan, pasti salah satu dari mereka punya perasaan yang sama kayak Angel. Benar 'kan Aqila?" Angel menoleh ke arah Aqila sekilas, mengerjap polos sebentar.

Angel kembali memandang wajah tampan Aksel. "Angel lega karena udah ngomong soal perasaan Angel ke Aksel. Daripada dipendam? Rasanya sakit dan tentu gak akan dapat hasil," ungkap Angel secara terang-terangan.

"Tetap kasih tau walau jawabannya adalah perasaan yang gak sama. Daripada gak dikasih tau, perih sendiri dan akhirnya bertahan di posisi 'susah moveon', kayak Aqila contohnya," sengit Angel.

Aqila tertawa pelan, ia fokus mendengarkan penuturan Angel perihal perasaan yang baginya memuakkan. Aqila merapikan sedikit poni dora yang hampir menutupi mata.

"Jadi, tentang lo gak mau lagi dengar tawa gue. Itu seriusan? Lo cuma mau dengar tawa Aksel? Lo mau gue jauhin Aksel?" tanya Aqila, menatap Angel dengan datar.

"Iya, serius dan benar," jawab Angel.

Aksel memijit keningnya, ia berdecih. Jadi, inti masalah mereka berdebat adalah 'Aksel', sungguh candaan yang luar biasa bagi Aksel. Cowok dengan celana pendek dan kaus polos bewarna putih itu duduk bersilang di atas ranjang. Menatap perdebatan langka yang tidak bermanfaat ini.

Angel, seperti bukan Angel yang Aqila kenal. Angel pada sore hari ini tampak tidak suka dengan Aqila, gaya bicara dan gerakannya pun bukan seperti Angel—cewek yang selalu bertingkah manja dan kalaupun berdebat tidak akan seserius ini.

"Lo suka sama gue, Ngel?" tanya Aksel.

"Iya," jawabnya cepat.

"Gue gak suka sama lo, lo bukan tipe gue. Jadi, lebih baik lo buang tuh, rasa suka. Oke, kita tetap sahabat," tekan Aksel.

"Kalo Tuhan ada skenario untuk mempersatukan kita, gimana? Apa masih bisa disebut sahabat?" tanya Angel membuat Aksel dan Aqila tak bergidik lagi.

Apa karena perasaan itu, Angel menjadi bertingkah lebih serius? Menampilkan watak asli yang tidak pernah ia tunjukkan?

3A (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang