BAGIAN 8 || 3A

47 6 0
                                    

Aqila berjalan dengan mendukung tas les miliknya, cewek itu sudah keluar dari komplek rumah menuju komplek sebelah. Sesekali ia menendang kerikil jalanan, menghela napas gusar seakan menoleh ke arah jalan. Genangan air di aspal yang tidak rata itu memercik saat Aqila menginjak dengan kasar, terbawa emosi yang ingin ia lampiaskan.

Tapi, pada siapa?

Di jalan komplek yang begitu sepi, matahari siang seakan berada di atas kepala. Panas, keringat mengucur di pelipis wajah. Rambut pendek dengan poni menutupi dahi, rasanya ingin ia lepaskan dari kepala. Aqila tampak stres, ia menarik rambutnya sangat kencang, membuat ringisan sakit itu terdengar.

Perkataan kedua orang tua Aqila setelah ia pulang dari rumah Angel pada malam hari itu, hujan deras mengguyur daerah perumahan baru yang ditempati Angel.

"Kamu itu harus jadi kayak Angel, nurut."

"Jadi kayak Aksel juga, pikiran dewasa gak kayak kamu."

"Lain kali, kalo kamu mau pergi biasain izin sama Abi. Abi gak larang kamu, kalo kamu izin pergi dengan baik."

Angel ... Aksel ....

Jujur saja, dua nama itu selalu terngiang dipikiran Aqila. Harus jadi Angel, harus jadi Aksel.

Bagaimana ini?

Orang tua ingin anaknya seperti begini dan begitu, sementara anak? Mendengar dan melakukan apa yang orang tua mau.

Apapun itu, pastinya hal yang baik, bukan?

Aqila berjalan malas. Mulutnya berkomat-kamit mengatakan sesuatu yang harus ia suka di tempat les.

"Matematika. Bahasa Inggris."

"Rumus-rumus, like-like."

Hapal Aqila yang sangat benci kata rumus dan like. Tetapi, masih saja diingatkan, karena tempat les-nya selalu memberikan soal yang ada rumus dan like. Maksud guru pengajar les itu, Aqila harus suka Matematika dan Bahasa Inggris. Maka dari itu, sebuah kata rumus dan like terngiang-ngiang di kepala.

Miris, stres karena tugas yang menumpuk.

Setelah itu ia menghentikan langkahnya. Menatap jalanan lurus ke depan, lalu cewek itu menepak dahi-nya sendiri.

"Oh iya! Gue lupa kabarin Angel kalo gue gak ikut ke mall hari ini!" desis Aqila, menepak dahinya, lagi. Sebelum akhirnya tentang Angel hadir dipikiran.

"Angel, kita ini sahabat atau lawan?" tanyanya menatap arah depan.

"Aksel, lo adalah gula yang kopi dan teh butuhkan," gumam Aqila. "Kalo kopi yang pahit gak dapet gula, mungkin tambah pahit. Sedangkan teh?" lanjut Aqila, bingung dengan ucapannya sendiri.

Cewek itu memiringkan kepala, aksi terlihat orang bodoh ini ia tunjukkan. Dan untungnya tidak ada orang yang melihat Aqila sekarang.

"Like rumus, rumus like," katanya lagi.

"Tolong bantuin gueee! Gue gak mau belajar Bahasa Inggris, like-like apaan coba? I dont like you! Ehhh?"

Aqila menggelengkan kepala, tubuhnya bersikap tegap dengan pandangan lurus ke depan. Tangan mengepal di samping kanan dan kiri, lalu ia berlari secepat kilat menuju tempat les.

"Lari! Ayo lari, Qil! Lo pasti bisa!" tekannya sendiri.

"Sukses harus jadi robot untuk diri sendiri! Dunia harus tau, kalo gue bisa Bahasa Inggris! Like! Mis Jeha harus tepuk tangan buat gue!"

"Terus lari, Qil! Tapi, jangan sampe kelewatan!"

"Lari ninggalin semua beban di belakang, termasuk beban orang tua."

3A (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang