BAGIAN 10 || 3A

42 3 0
                                    

Masih sangat pagi, kabut dan angin dingin pun menyentuh tubuh. Aqila duduk di dalam ruangan bersih, rapi dan sunyi. Ruang osis, Aqila memegang kunci duplikat-nya. Tas dan gitar putih ia letakkan di atas sofa empuk punya anak-anak osis, hasil dari tabungan uang kas.

Aqila duduk di salah satu kursi kayu sebelah kursi ketua osis. Ia mengambil gitar dan meletakkannya di atas pangkuan, Aqila mulai memetik senar, kembali bernyanyi dengan suasana hati kacau.

Suara lembut dan petikan pelan, semua terdengar dari luar ruangan. Ketua osis dan sahabatnya berada di luar pintu, mendekatkan telinga ke daun pintu agar terdengar lebih jelas.

"Aqila, ya?" tanya sahabatnya, wakil ketua osis bernama Damian.

Alvino menoleh. "Iya, calon cewek gue," jawabnya sambil menyengir.

Damian terkekeh pelan, menggelengkan kepala lalu kembali bertanya. "Masuk gak nih?"

Alvino mengangguk, membuka pintu dengan pelan. Decitan pintu itu terdengar, Aqila menoleh sekilas, melihat dua lelaki berjas merah maroon tersenyum padanya. Aqila tidak membalas senyuman itu, ia kembali pada hobinya, bermain gitar.

"Pagi banget, Qil lo datangnya," ujar Damian seraya membuka pintu ruang osis lebar-lebar.

Alvino duduk di kursi khusus untuknya, tas ia letakkan di atas meja. Mengambil ponsel, segera ia memotret Aqila.

Sontak, Damian dan Aqila menoleh cepat. Bunyi 'cekrek' sangat terdengar, Aqila menatap Alvino datar, mata tajam seolah menyuruh Alvino menghapus foto yang ia ambil.

"Satu aja, Qil. Koleksi foto gebetan," kekeh Alvino.

"Hapus," tekan Aqila tak suka.

"Udah, Al. Hapus aja, lain kali foto lagi," imbuh Damian.

Alvino mengangguk, gerakan jari tangannya seakan benar-benar menghapus foto itu. Padahal, tidak, tidak mungkin Alvino menghapusnya. "Udah," balas Alvino menyengir.

Cowok itu memandang Aqila yang tampak sama sekali tidak menyukainya. "Gimana uang kas?" tanya Alvino, berbasa-basi.

"Kelar." hanya itu jawaban Aqila, tanpa menoleh ke arah Alvino membuat Damian tertawa.

Damian dan Alvino duduk di sofa, sebelah Aqila. Cewek itu terapit dengan dua manusia yang menyebalkan bagi dirinya. Aqila menoleh ke arah Damian sebentar, mengisyaratkan perkataan lewat tajamnya tatapan mata.

Damian paham, ia menggeser tubuhnya ke samping, sedikit jauh dari tubuh Aqila. Lalu, Aqila menggeserkan tubuhnya ke tempat posisi duduk Damian tadi. Kalau ia menyuruh Alvino geser, pasti lelaki itu tidak mau, maka dialah yang menggeser tubuhnya sendiri.

"Nyanyiin lagu yang enak didengar dong, Qil," ucap Damian.

"Dih, sok manis banget lo. Sini pinjam gitarnya, gue bisa nyanyiin," desak Alvino.

Alvino meraih gitar dari tangan Aqila, cewek itu diam melihat gerak-gerik Alvino. Sedangkan Damian berdecak malas, ia bergerak, beranjak keluar dari ruang osis, dan berdiri kaku saat melihat kehadiran seseorang di luar pintu.

"Ada Aqila?" tanya lelaki yang memandang Damian datar.

Damian mengangguk, menongolkan kepala ke dalam pintu. "Aqila! Ada Aksel, nih!" jerit Damian kencang.

Tentu Aqila bangkit dari duduknya, Alvino hanya melongo tidak percaya dipojokkan oleh gadis yang berjabat sebagai bendahara osis.

Aqila tersenyum sumringah melihat kehadiran Aksel di sini, begitu pula dengan Aksel. Cowok itu mengusap puncak kepala Aqila, membenarkan dasi miring yang melingkar di kerah seragam Aqila, membersihkan sedikit debu di jas merah maroon punya Aqila, tepat di pundak kanan.

3A (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang