BAGIAN 15 || 3A

36 4 0
                                    

Aqila keluar dari mobil bersama supir pribadi Abi Yasha. Pak Toman, itu namanya. Lelaki tua tapi masih terlihat muda, sehat, tangan kekar, tubuh tegap dan dada bidang. Pak Toman mengeluarkan banyaknya bungkusan dari dalam mobil, Aqila juga membantu.

Pak Toman dan Aqila saling bertukar pandang. Pak Toman berkata, "Ayo, Non. Ini panti asuhan milik temannya Abi Yasha." Aqila tak menjawab.

"Pak Toman sama Abi sering berkunjung ke sini?" tanya Aqila.

"Iya, tapi akhir-akhir ini jarang. Karena Abi Yasha sibuk, jadi Pak Toman sendiri yang kadang berkunjung. Dan Abi Yasha yang menyumbang semua sembako ini," jelas Pak Toman. Cewek itu mengangguk.

Mata cantik Aqila menatap penjuru panti asuhan. Halaman depan sedikit luas, panti asuhan ini juga sangat bersih. Dua tingkat, dengan dinding ber-cat putih.

Balkon lantai atas juga sangat terlihat, pintu ruangan di dekat balkon terbuka lebar. Mudah untuk Aqila melihat-melihat isinya, ya walaupun dari jarak jauh dan tidak sepenuhnya terlihat.

Di sinilah Aqila berada ditemani Pak Toman. Panti asuhan Azzaki, diambil dari nama sang pemilik panti, teman dekat Abi Yasha.

"Ayo, Non," ajak Pak Toman. Kedua tangan kekar lelaki itu sudah siap siaga membawa beberapa bungkusan besar yang masih terisi bungkusan kecil-kecil di dalamnya.

"Bapak duluan aja, ntar Aqila nyusul." Pak Toman mengangguk, segera masuk ke dalam, disambut hangat oleh penghuni panti. Terutama sambutan ceria dari anak-anak yang tinggal di sini.

"Wahhh! Pak Toman datang, Abi mana? Kok, enggak ada Abi, sih?" tanya anak perempuan kecil. Kira-kira umurnya enam tahun.

"Gak papa, lagian ini udah ada Abi. Maksudnya makanan dari Abi," sahut anak lelaki yang satunya. Umur mereka sama.

Aqila terkekeh pelan mendengar suara-suara anak kecil itu. Kanan-kirinya begitu ramai, Aqila masih di samping mobilnya. Ia terus menatap sekitar.

Ia mendongak, kembali menatap balkon di atas. Ruangan yang terdengar suara-suara musik klasik, Aqila bisa mendengarnya. Aqila berjalan mendekati, hingga lelaki dengan kaos putih dan boxer hitam keluar dari ruangan tersebut.

Aqila melototkan matanya.

Lelaki itu dengan santainya berjalan ke arah balkon, tangan kanan memegang ponsel, dan tangan kiri memegang gelas yang entah apa isinya. Mata lelaki itu masih fokus pada layar ponsel, tidak menyadari kehadiran Aqila di bawah.

"Dirga?" gumam Aqila.

Pandangannya tak lepas dari kakak kelasnya itu, mantan ketua osis dan petugas PMR. Yang tampan dan bertubuh proporsional, nyaris sempurna. Aqila menepak keningnya saat ia baru melihat motor besar milik Dirga.

"Dirga!" panggil Aqila menyapa.

Dirga yang ada di atas sana menoleh ke arah kanan dan kiri. Mencari siapa yang memanggilnya. Merasa tidak menemukan apapun, lelaki itu cuek lalu duduk di kursi yang ada di sekitarnya.

"Ck! Woi, Dirga!"

"Dirgaaa!!!"

Dirga berdecak, melatakkan gelas itu di atas meja sampingnya. Ia menoleh lagi ke arah kanan, dan juga kiri. Tidak mendapatkan apapun.

Dirga berteriak, "Siapa?! Ada suaranya tapi gak ada orangnya, setan apa jin?!" kesal Dirga.

Aqila yang di bawah melambaikan kedua tangannya. "Gue di bawah! Makanya kalo punya mata itu dipakeee!" geram Aqila.

Tatapan Dirga beralih ke arah bawah, lelaki itu memasang wajah kagetnya saat melihat Aqila menyengir di sana. Wanita berambut pendek itu mengenakan baju kodok dua warna, hijau dan abu-abu.

3A (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang