Flasback!
Di ruangan bercat kuning yang terasa pengap itu Arich duduk bersila menghadap Andre yang setia menatapnya dingin. Sejak menginjakan kaki di rumah nini dan abah, tidak ada seukir senyum yang ditunjukan Andre meski ini adalah hari pernikahan putrinya yang seharusnya menjadi hari bahagia untuknya juga.
"Saya datang ke sini bukan berarti saya memaafkan anda," ujar Andre memecahkan hening yang semula terjadi.
"Saya datang ke sini demi putri saya. Anak perempuan saya satu-satunya yang amat saya sayangi yang sudah anda rusak masa depannya," lanjut Andre terdengar begitu menyakitkan di telinga Arich.
Bibir Arich masih tertutup rapat, kepalanya sedikit menunduk. Ia menautkan jari-jari tangannya mendengarkan segala kata yang keluar dari mulut Andre meski itu terdengar menyakitkan.
"Di saat teman-temannya bersenang-senang menikmati masa mudanya, lantas apa yang dilakukan oleh anak saya? Ketika teman-temannya mengenakan almamater kampus impian mereka, lantas apa yang didapat oleh anak saya? Dia harus mengurus anak di usia semuda itu. Di usia yang seharusnya dia mengejar impiannya," ucap Andre sedikit melirih membuat dada Arich seperti terhantam batu besar.
Andre berdiri, memasukan tangannya ke kantong celana berwarna hitamnya. Dia menatap sang menantu dengan perasaan kesal, kecewa, dan marah. Semuanya bercampur menjadi satu. Saking bencinya, semua kebaikan yang selama ini Arich lakukan hilang begitu saja karna satu kesalahan.
"Jangan sekali-kali anda menyakiti dia. Jika anda sudah tidak mencintai dia, tolong beritahu saya. Jangan katakan pada dia. Biar saya yang akan menjemputnya pulang dan jangan pernah berharap jika anda bisa bertemu lagi dengan dia," tegas Andre.
"Saya akan mencintai Melati sampai akhir hayat saya," jawab Arich yang akhirnya angkat suara. "Sekuat tenaga saya akan melindungi dia dan memberikan kebahagiaan untuk dia dan calon anak kami."
Andre menyeringgai. "Saya pegang janji kamu. Semoga anak itu terlahir tidak seperti ayahnya. Sungguh menyedihkan."
Arich mendongak, hatinya terasa begitu sakit. Sebenci itukah Andre padanya? Arich tau ia bersalah, tapi bisakah Andre bersikap sedikit baik padanya?
Dengan wajah seperti tanpa dosa, Andre berlalu keluar meninggalkan Arich yang merasa sesak di dadanya.
Flasback off!
Memikirkan itu membuat kepala Arich berdenyut nyeri. Cowo itu memijat pelipisnya pelan sambil berusaha menenangkan pikirannya. Jika bisa mengulang waktu, Arich tidak akan menenggak alkohol sebagai pelampiasan.
"Gue harus bisa buktiin kalau gue layak buat Melati," monolognya.
Di saat ingin memejamkan mata ponselnya berdering dari atas nakas. Arich menoleh, mengambil ponselnya tanpa beranjak karna nakas itu berada tak jauh di sampingnya. Ketika melihat siapa yang menelponnya dengan cepat Arich merubah posisinya menjadi duduk bersandar ke kepala kasur.
Setelah memencet tombol hijau, Arich menempelkan ponsel di telinga kanannya.
"Assalamualaikum, mi," ucapnya dengan bibir sedikit bergetar karna tidak menyangka mamihnya akan menelpon setelah kurang lebih 1 minggu Arich pergi dari rumah.
"Waalaikumsalam, Arich. Maaf kalau mamih ganggu kamu malem-malem begini."
Suara Dena terdengar serak, seperti habis menangis. Hal itu membuat Arich gelisah.
"Enggak apa-apa kok, mi. Arich juga lagi nyantai. Hm, mami habis nangis? Mami kenapa?"
"Mami gak papa kok, Rich. Maaf mami baru bisa ngehubungin kamu sekarang. Kamu tau sendirikan gimana kerasnya papih kamu? Ini aja mami di dalam kamar mandi jadi gak bisa bicara kenceng-kenceng."
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVESICK [TAMAT]
General FictionMonmaap nih gue mikir cerita ini pake otak sendiri, ngetiknya pake jari sendiri, kuota sendiri jadi awas aje lu kalau baca doang kaga vote dikata gue kaga stres bikin ni cerita:'( Arich Debara Jeffrey, S. Pd. Seorang guru muda berparas tampan yang t...