21.

3.5K 305 20
                                    

Setelah kupikirkan lebih baik kulanjutkan cerita ini.

"Pak Arich!"

Arich yang baru keluar dari ruang guru untuk pulang ke rumah langsung disambut oleh dua orang perempuan berseragam putih abu-abu. Yang satu berambut pendek sebahu dan yang satu dikuncir buntut kuda. Arich mengenali keduanya, mereka adalah Talia dan Rahma murid kelas 12 Ipa 3.

"Iya ada apa?" tanya Arich.

Talia dan Rahma saling menyenggol bahu satu sama lain dan berbisik-bisik membuat Arich terheran.

"Kamu aja atuh yang ngomongnya," bisik Talia.

"Ih gak mau. Kamu aja atuh saya teh malu," balas Rahma membuat Talia berdecak pelan.

"Kamu mah kebiasaan! Kan tadi aku  udah manggil si bapaknya. Sekarang giliran kamu yang ngomong," ujar Talia membuat Rahma mengerucutkan bibirnya.

Arich menatap dua murid itu bingung. "Ini ada apa? Kalau gak ada apa-apa bapak pamit mau pulang."

"Eh tunggu dulu, pak!" tahan Rahma.

Arich menghela nafas panjang. "Iya, ada apa?"

"Begini, pak. Hmm, kita boleh gak les matematika sama bapak?" tanya Rahma dengan tatapan menurun karna tak sanggup menatap mata Arich yang membuat jantung mereka berdegup kencang kala menatapnya.

Bisa dikatakan mereka berdua jatuh cinta pada Arich sejak pertama kali Arich mengajar di kelas mereka. Karena Arich tidak memakai cincin kawinnya jadi orang-orang mengira dia masih melajang. Nyatanya dia sudah beristri dan akan segera menjadi ayah. Jika Arich mempublis hubungannya entah berapa banyak hati yang merasa dipatahkan.

"Gimana, pak? Bapak gak keberatan kan jadi guru les kita?" tanya Talia.

"Les?" beo Arich yang langsung diberi anggukan oleh keduanya.

"Sebentar lagi kan Ujian Nasional, pak. Kita berdua menyadari kemampuan matematika kita payah banget. Kita mau berubah, pak. Biar bisa keterima di Universitas impian kita," jelas Talia yang diberi anggukan oleh Rahma.

"Untuk biayanya bapak gak perlu khawatir. Berapapun yang bapak minta kami terima asal bapak mau jadi guru les kami," papar Rahma.

Arich tersenyum tipis membuat dua gadis itu salah tingkah. "Anak-anak, ini bukan masalah biaya. Saya hargai niat baik kalian tapi masalahnya saya harus meminta izin terlebih dahulu kepada pak kepala sekolah. Jika beliau menyetujuinya saya bersedia menjadi guru les kalian tapi jika beliau tidak menyetujuinya saya tidak bisa membantahnya."

Talia dan Rahma saling bertatapan dan menahan diri untuk tidak berteriak.

"Iya, pak. Kami tunggu informasi selanjutnya. Semoga pak kepala sekolah menyutujuinya soalnya kami udah gak sabar pengen les sama bapak, hehe."

"Betul kata Talia, pak. Semenjak bapak ngajar di kelas kami, kami jadi seneng belajar matematika padahal dulu baru denger namanya aja udah mau muntah," kelakar Rahma.

Arich geleng-geleng kepala melihat tingkah keduanya. Ini bukan sekali dua kali ada murid yang mengatakan seperti itu. Dulu ketika masih di Jakarta hampir semua murid perempuan yang Arich ajar mengatakan seperti itu. Arich tidak bodoh, Arich tau mereka tidak benar-benar menyukai matematika tapi menyukainya. Dasar anak-anak jaman sekarang!

"Yaudah saya pamit pulang ya. Kalian pulang naik apa? Bawa kendaraan pribadi atau naik angkutan umum?"

"Bawa motor, pak," jawab keduanya

Arich mengangguk kecil. "Kalau gitu hati-hati bawa motornya. Jangan kenceng-kenceng, banyak mobil truk harus extra hati-hati."

"Siap, pak." Mereka berdua semakin kegirangan diperhatikan seperti itu.

LOVESICK [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang