Siang harinya Arich merasa kondisinya sudah lumayan membaik. Suhu tubuhnya kembali normal, kepalanya tidak lagi berdenyut nyeri dan tidak lagi muntah-muntah meski bintik-bintik merah masih menghiasi tubuhnya. Sebenarnya Arich pernah terjangkit penyakit ini sebelumnya ketika dirinya kelas 6 sd dan kelas 10 sma. Jadi, penyakit ini sudah tak asing lagi baginya. Istilahnya udah jadi kawan meski itu sangat membahayakan nyawanya.
Melati juga setia menemani, melayani dan merawatnya sepenuh hati meski tidak banyak bicara tapi Arich dapat merasakan kasih sayangnya. Benar-benar istri yang baik. Tidak melarikan diri meski keduanya sedang berselisih.
"Kamu udah kirim email ke pihak sekolah kalau saya absen mengajar karna sakit?" tanya Arich setelah menghabiskan potongan jambu biji yang Melati berikan.
"Udah. Jangan banyak pikiran. Yang terpenting sekarang itu kesehatan kakak," balas Melati yang sibuk menata buah-buahan yang dibelinya tadi pagi ke keranjang.
Arich menatap lekat istrinya. "Makasih banyak, Mel."
"Untuk?" sahut Melati tanpa mengalihkan atensinya.
"Kamu udah ngerawat saya. Dulu, ketika saya sakit saya selalu sendiri. Tidak ada kasih sayang yang saya dapat. Orang tua saya sibuk bekerja. Meski ibu saya dokter tapi beliau tidak bisa merawat saya. Oleh karena itu saya benci sakit. Saya takut mati dalam keadaan sendirian," tutur Arich diakhiri senyuman hambar membuat Melati menghentikan kegiatannya.
"Pantesan dulu kalau ngajar gak pernah absen. Meskipun lagi batuk atau pilek sampai wajahnya pucet tetep aja ngajar," batin Melati.
"Saya benar-benar bersyukur memiliki kamu. Meski saya sudah menghancurkan mimpi-mimpi kamu tapi kamu masih sudi merawat saya. Terkadang saya merasa malu. Manusia kotor seperti saya tidak pantas mendapatkan wanita baik seperti kamu. Mel, saya benar-benar berterima kasih. Maaf jika luka yang saya torehkan terlalu sulit untuk kamu sembuhkan," lirih Arich. Sesuatu yang hangat terasa mendesak keluar dari matanya tapi dengan cepat Arich menggerakan bola matanya ke atas agar air mata itu tidak jatuh. Dia pantang menangis di depan Melati.
Melati mematung dengan tatapan menurun mendengar segala ucapan Arich.
"Maaf jika saya tidak bisa membahagiakan kamu. Saya selalu membuat kamu dalam kesusahan. Karna kelakuan bejat saya kamu harus menanggung beban seberat ini." Arich sampai tidak berani melihat Melati saking merasa bersalahnya.
Tanpa bicara Melati langsung menghampiri Arich dan memeluknya dengan hati-hati agar perutnya tidak tertekan. Arich terkejut tapi pada akhirnya dia membalas pelukan tersebut. Di sini bukan hanya Melati yang terkena dampaknya, Arich pun mendapatkannya. Sudah saatnya mereka berdamai dengan masa lalu meski itu sulit. Terus melihat ke belakang hanya akan dihantui kesedihan hingga berujung kebencian yang akan mengantarkan mereka ke gerbang perpisahan.
Melati tidak ingin anaknya tumbuh tanpa sosok ayah di sampingnya. Peran ayah begitu penting dalam pertumbuhan anak.
"Udah gak papa, kak. Yang terpenting sekarang itu kesehatan kakak. Kakak harus sembuh. Aku sama dede bayi ini masih butuh kakak. Udah ya jangan terus-terusan nyalahin diri sendiri. Aku juga minta maaf," ucap Melati lembut seraya mengelus kepala Arich.
"Saya mau pulang, Mel. Saya gak mau di sini," ujar Arich dengan bibir bergetar.
Sontak Melati melepaskan pelukan itu dan menangkup pipi Arich dengan tangannya. Mata keduanya bertumbuk menciptakan sebuah desiran hangat di dalam hati.
"Kenapa? Kakak belum sembuh," tanya Melati seraya mengelus pipi Arich yang dihiasi ruam merah tapi itu tidak menutup ketampanannya.
"Saya gak mau di sini. Saya takut. Lagi pula saya udah sembuh, Mel," balas Arich terpancar jelas kecemasan dari sorot matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVESICK [TAMAT]
Ficción GeneralMonmaap nih gue mikir cerita ini pake otak sendiri, ngetiknya pake jari sendiri, kuota sendiri jadi awas aje lu kalau baca doang kaga vote dikata gue kaga stres bikin ni cerita:'( Arich Debara Jeffrey, S. Pd. Seorang guru muda berparas tampan yang t...