Demi keselamatan Melati dan calon buah hatinya. Pagi-pagi buta Arich rela berangkat ke sekolah untuk menjalankan rencananya. Padahal semalam ia tidur jam setengah satu menyiapkan soal ulangan harian sebelum memasuki ujian semester satu. Sistem pembelajarannya dari dulu setiap kelas pasti mengerjakan soal yang berbeda, agar otak mereka bekerja dan tidak mendapat bocoran dari kelas sebelah.
Mobilnya berhenti di parkiran khusus guru yang masih sepi. Merapihkan rambutnya yang masih sedikit basah karna air wudhu kemudian membuka seat belt lalu keluar. Tubuh tingginya dibaluti hoodie hitam karna udara di subuh hari begitu dingin.
Tanpa rasa takut sedikitpun ia berjalan seorang diri menyusuri satu per satu lorong koridor yang sepi. Belum ada satupun murid yang datang. Pintu ruang guru sudah terbuka. Pasti pak Yanto-- orang yang bekerja membersihkan tempat itu sedang menjalankan pekerjaannya.
Arich menaiki satu per satu anak tangga untuk sampai ke kelas Melati yang terletak di lantai dua gedung IPA. Benar-benar sepi dan sedikit menyeramkan. Ia menyenderkan punggungnya ke pintu, bersedekap tangan dan menatap langit subuh yang masih gelap.
5 menit kemudian suara langkah kaki terdengar. Sosok pria bertubuh kurus muncul dari anak tangga. Setengah wajahnya ditutupi masker berwarna hijau. Tangannya menenteng plastik berwarna hitam. Pria itu terus melangkahkan kakinya belum menyadari keberadaan Arich. Beberapa langkah lagi sampai di kelas Melati, pria itu refleks menghentikan langkahnya kala melihat Arich.
Dengan tatapan tajam Arich menoleh ke arahnya. Mata pria itu membulat, menandakan betapa terkejutnya dia sekarang. Dia langsung kalang-kabut melarikan diri.
"Jika kamu kabur saya jamin kamu akan dikeluarkan," ucap Arich memecahkan kesunyian yang semula terjadi.
"Jika kamu mau bertanggung jawab saya pastikan kamu akan aman," lanjut Arich dengan nada santai.
Pria itu tetap berjalan menuruni satu per satu anak tangga. Tidak peduli dengan ucapan Arich.
"Percuma saja kamu kabur toh saya sudah mengantongi identitas kamu," seru Arich dengan nada sedikit tinggi agar pria itu mendengarnya.
"Wisnu Pratama. 12 IPS 3," ujar Arich membuat pria itu mematung di tempat dengan jantung berdegu kencang.
******
Sepanjang jalan Melati misuh-misuh karna Arich menelponnya dengan nomor baru menyuruh datang ke ruangannya. Padahal ini masih terlalu pagi. Jika Arich tidak mengancam akan menahan nilainya, mana mau Melati menurutinya.
Tapi, entah kenapa di lubuk hatinya ia merasa senang akan bertemu Arich. Padahal Melati membenci pria itu. Apakah ini bawaan bayinya yang merindukan ayahnya?
"Kalau kamu rindu ayahmu jangan ajak-ajak aku!" gerutunya pelan sambil memegang perutnya.
"Ayahmu udah gak peduli lagi sama aku! Ngapain aku harus mempertahankan kamu!?"
Tiba-tiba saja perutnya terasa begitu mual. Ah, selalu saja seperti ini. Anak yang dikandungnya seakan mengerti dengan segala ucapan pedas Melati. Segera ia berlari menuju wastafel terdekat, memuntahkan sedikit cairan bening. Untung saja sekolah masih sepi. Ia membasuh mulutnya dengan air mengalir, mengambil tissu lalu mengelapnya.
"Kamu baperan kaya ayah kamu! Kamu emang beneran anak dia!" gerutu Melati lagi nyaris seperti orang gila karna berbicara sendiri.
Menghembuskan nafas kasar ia kembali melangkahkan kakinya. Pintu ruangan Arich tertutup rapat. Segera ia mengetuknya tidak santai seperti mau menggerebek. Tak lama Arich langsung membukanya, Melati mendongak menatap tajam mata Arich.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVESICK [TAMAT]
General FictionMonmaap nih gue mikir cerita ini pake otak sendiri, ngetiknya pake jari sendiri, kuota sendiri jadi awas aje lu kalau baca doang kaga vote dikata gue kaga stres bikin ni cerita:'( Arich Debara Jeffrey, S. Pd. Seorang guru muda berparas tampan yang t...