06.

5.1K 325 12
                                    

Motor N-Max milik Liam berhenti tepat di depan gerbang rumah Melati. Tanpa diberi tahu pun pemuda itu masih ingat alamatnya. Dengan cepat Melati turun dari motor. Untung saja duduknya nyamping jadi tidak ribet.

Tau sendiri kalau pake motor N-Max tuh naik seperti princes kalau turun kaya gorila.

Kejadian ini seperti mimpi bagi mereka. Pasalnya, setelah perang besar 3 tahun lalu mereka tak pernah sedekat ini lagi. Dua manusia yang dulunya seperti sepasang sepatu yang kemana-mana selalu bersama kini bagai kecoa dan kapur bagus.

Bisa diibaratkan Liam adalah kapur bagus dan Melati kecoanya. Melati selalu menghindari Liam karna merasa bisa membunuhnya. Bahkan, tadi di motor pun Melati duduk di paling belakang walau Liam memperingati beberapa kali.

Liam membuka kaca helmnya, matanya menatap bangunan bercat putih dari balik pagar. Bibir pink alaminya tersenyum tipis.

"Udah lama banget rasanya gak ke sini. Dulu hampir setiap hari majeng di sini. Belajar bareng, masak-masak, ikut nyari ikan di comberan sama bang Dery. Sampai diseret mama karna gak mau pulang."

"Kangen kolak buatan bunda juga," lanjutnya membuka kembali kisah mereka.

Sejujurnya Melati tidak ingin mengingat kisah menyedihkan cinta monyetnya. Terlalu pahit untuk dirinya yang suka manis.

Tapi, memang betul dulu hampir setiap hari Liam berkunjung ke rumahnya. Makan, minum, tidur, bernafas, sampai berak pun di rumah Melati. Diperlakukan layaknya anak kandung meski tak tertera dalam kartu keluarga. Kedua belah pihak keluarga sudah saling mengenal dekat meski berbeda keyakinan.

Jika bulan Ramadan tiba Liam sering ikut berbuka puasa dan terkadang dia pun ikut berpuasa. Makanan favoritnya adalah kolak. Dan jika perayaan tahun baru Imlek, Melati sering diajak Liam bertemu keluarga besarnya. Diberi banyak cokelat dan juga diajak menonton pertunjukan barongsai.

Itulah sepenggal kisahnya dengan Liam yang kini menjadi kenangan. Sudah cukup, Melati tidak ingin mengingatnya lebih dalam. Cape-cape dulu ia menangis bombay menghabiskan tissu milik abangnya tapi ujung-ujungnya kembali ke lubang yang sama kan tidak lucu.

Malu sama setan yang dulu nemenin galau dan menghasut bunuh diri.

"Makasih," ucap Melati dengan wajah kembali ketus. "Ini udah mau malem mending lo langsung pulang. Gue di rumah juga lagi sendirian. Gak baik bawa cowok. Takut jadi bahan ghibah tetangga."

Liam mengangguk. "Aku ngerti. Makasih juga, Mel."

Kening Melati mengerut. "Untuk?"

"Hari ini. Makasih udah mau pulang bareng. Makasih udah sedikit mencair," jawab Liam membuat Melati segera memalingkan pandangannya.

"Melati?" panggil Liam lagi membuat Melati mendumel dalam hati.

Apa perlu Melati mengambil toa di masjid terus berteriak LIAM LO PULANG AJA SONO JANGAN BANYAK CINCONG! KALAU GAK MAU PULANG KE RUMAH SINI GUE BANTUIN PULANG KE RAHMATULLAH.

Tapi Melati tau itu tidak sopan.

"Apa? Lo mau minta ongkos?" tanya Melati seraya merogoh saku seragamnya. "Mau berapa juta?"

Melati so-soan bertanya seperti itu padahal uang di sakunya tinggal 10 ribu. Itupun recehan bekas kembalian beli tahu gejrot.

"Enggak kok, Mel." Liam menepis dengan cepat. "Aku cuma mau nanya aja. Kamu lagi ada masalah ya sama pak Arich?"

Jantung Melati langsung berdebar kencang. Kenapa Liam bisa bertanya seperti itu? Apa jangan-jangan dia cenayang? Melati berusaha stay cool agar Liam tidak menaruh curiga lebih dalam.

LOVESICK [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang