Arich terbangun dari tidurnya karna merasakan hawa panas yang menyerang tubuhnya. Ia mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Kepalanya terasa berdenyut nyeri, lantas ia memijat pelan keningnya berharap bisa meredakan rasa sakitnya.
Setelah beberapa saat bengong akhirnya Arich teringat akan kejadian beberapa jam yang lalu. Pertengkaran perdana mereka setelah menikah. Mengingat itu membuat dada Arich kembali sesak. Demi Tuhan, Arich tidak menyangka jika selama ini Melati membohonginya. Jika dari awal Melati berterus terang tentang hutang itu Arich pasti membayarnya tanpa pikir panjang. Beginilah kurangnya komunikasi dalam hubungan.
Ngomong-ngomong, tentang bagaimana Arich bisa pulang lebih cepat dari biasanya, itu karna Arich merasa tidak enak badan. Suhu tubuhnya naik beberapa drajat, kepalanya sakit dan juga mengalami muntah-muntah. Jika dipaksakan mengajar itu sangat tidak baik sehingga ia meminta izin pulang untuk beristirahat. Soal kunci rumah, sejak awal Arich memegang kunci cadangan guna berjaga-jaga kala keadaan darurat.
Arich beranjak dari sofa dan berjalan lunglai menuju pintu kamarnya yang masih tertutup rapat. Rupanya ia tertidur cukup lama hingga baru menyadari hari sudah berganti malam.
"Mel?" panggilnya seraya mengetuk pintu sebanyak dua kali. Tapi tak ada respon apapun dari dalam. Arich menjadi cemas takut Melati kenapa-napa di dalam kamar sana.
"Kamu denger saya gak? Tolong jawab. Jangan membuat saya khawatir." Arich kembali mengetuk pintu.
"Tolong jangan ganggu aku dulu." Suara Melati terdengar serak membuat Arich terdiam sesaat lalu menurunkan tangannya.
"Saya pengen ketemu kamu. Kita harus segera selesaikan masalah ini. Jangan seperti anak kecil. Tolong hargai saya sebagai suami kamu," ujar Arich lembut agar hati perempuan itu luluh.
Melati mengusap air matanya yang terus saja keluar padahal dia sudah lelah menangis. Dia ingin pulang ke Jakarta, berkumpul dengan orang tua dan kakaknya. Dia mendadak benci Arich. Untuk melihat wajahnya saja Melati enggan.
"Mel..." Suara Arich terdengar melirih.
"Apa sih, kak!? Aku gak mau diganggu dulu! Kakak ngerti gak sih!?" kesal Melati.
"Apa yang kamu mau sekarang?"
"Kita pisah tempat tidur," jawab Melati tanpa ragu.
Arich terdiam. Tak lama pintu terbuka, muncullah Melati yang sudah mengenakan daster motif batik yang dibelikan Arich beberapa bulan yang lalu. Matanya tampak begitu sembab. Mereka saling membuang muka, tanpa mengucapkan sepatah kata apapun Arich masuk mengambil bantalnya lalu keluar begitu saja. Melati juga langsung menutup pintu kamar rapat-rapat.
Aura di dalam rumah yang biasa hangat kini berubah dingin mencekam. Arich kembali ke ruang tamu lalu tiduran di sofa seperti tadi. Arich bergerak tak nyaman karna merasa badannya semakin panas. Bahkan kini muncul bintik-bintik merah di kulitnya. Merasa tak tahan Arich bergegas mengambil obat demam di kotak p3k dan langsung menelannya tak peduli perutnya belum terisi makanan berat. Sebenarnya tadi sore Arich sudah menelan obat itu tapi tak kunjung membuahkan hasil. Dia juga mengambil handuk kecil di tempat cucian dan wadah kecil untuk diisi air hangat.
Arich kembali tiduran dan mengompres dirinya sendiri berharap demamnya turun meski nyatanya demam itu semakin naik.
Ketika tengah malam Melati terbangun dari tidurnya karna tenggorokannya terasa kering. Perempuan itu sampai terbatuk-batuk sambil bergegas keluar kamar menuju dapur untuk mengambil air minum.
Langkahnya melambat ketika melewati ruang tamu. Keningnya sedikit mengernyit melihat ada handuk kecil di dahi Arich dan laki-laki itu tampak menggigil. Meskipun sedang tak bertegur sapa tapi Melati masih peduli. Dia langsung menghampiri Arich untuk memeriksanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVESICK [TAMAT]
قصص عامةMonmaap nih gue mikir cerita ini pake otak sendiri, ngetiknya pake jari sendiri, kuota sendiri jadi awas aje lu kalau baca doang kaga vote dikata gue kaga stres bikin ni cerita:'( Arich Debara Jeffrey, S. Pd. Seorang guru muda berparas tampan yang t...