“Gue boleh masuk?”
Sandra menyembulkan kepalanya dari balik pintu yang sedikit terbuka. Yang otomatis mengalihkan perhatian kedua cowok padanya.
Sandra melihat sekilas isi kamar yang didominasi warna navy tersebut. Tempat tidur di kamar kedua kakaknya itu ada dua dan dibuat terpisah, satu di sisi kanan milik Arka dan milik Arsa di sisi kiri.
Dan berkat bakat kedua cowok itu yang berbeda, jadilah dekorasi kamarnya juga terbagi jadi dua bagian. Bagian kanan, milik Arka, berisi gitar, ukulele, keyboard, piringan kaset hitam, barisan pigura berisi foto musisi legendaris, dan segala macam pernak-pernik yang berkaitan dengan musik lainnya.
Sementara di sisi kiri, milik Arsa, disana cukup rapi dan tak banyak barang. Isinya barisan rak yang penuh dengan buku, beberapa pernak pernik yang digunakan sebagai tatakan buku, dan kamera untuk hobi fotografinya. Di dekat tempat tidur Arsa juga terdapat globe seukuran bola basket.
Set komputer dan rak kecil berisi barisan piala tidak masuk hitungan, karena barang-barang tersebut ada di wilayah netral. Satu-satunya hal yang sama dari Arsa dan Arka adalah keduanya sama kolektor piala, sama-sama berprestasi di bidangnya.
Sekilas, Sandra melihat kamar Arka dan Arsa tampak seperti bagian otak manusia. Otak kanan untuk kreativitas, yang diwakili sisi kamar milik Arka. Dan otak kiri untuk analisa dan penalaran, yang diwakili sisi kamar milik Arsa.
“Masuk aja,” ucap Arsa.
Cewek itu melangkah masuk, kemudian berdiri di tengah-tengah. Ia menghela napas berat. Melihat kedua cowok itu yang masih saling diam sampai sekarang, sepertinya akan sulit membuatnya berbaikan.
Arka berdecak sebal, kemudian melepas earphonenya. “Ngapain berdiri di situ? Gak pegel apa tuh kaki?” celotehnya dengan gaya khasnya yang menyebalkan.
“Diem deh. Gak usah menyulut keributan,” sewot Sandra.
“Idih, siapa juga yang mau ngajak ribut? GeEr lo!”
“Males gue ngomong sama lo,” ketus Sandra. Cewek itu lalu menghampiri tempat tidur Arsa dan duduk di sebelahcowok itu.
Arsa meletakkan buku yang tadi dibacanya. “Ada apa?”
“Mulai deh tuh manja-manjaan sama Abang tersayang,” desis Arka dari seberang kamar.
“Bisa diem gak?” ketus Arsa.
Sandra menghela napas. “Wah, ini gak bisa dibiarin.” Cewek itu langsung berdiri dan kembali ke posisi semula, di tengah-tengah kamar. “Kalian gak capek apa ya perang dingin mulu?”
“Siapa juga yang perang dingin? Abang gak punya urusan sama orang ini.” Arsa melirik malas ke arah Arka.
“Gak sudi gue punya urusan sama orang yang gak punya nyali kayak lo,” balas Arka. Ia lalu menoleh pada Sandra. “Ngapain lo berdiri disana lagi?” tanyanya pada Sandra.
“Gue lagi berdiri di area netral, di tengah-tengah,” jawab Sandra, “Sandra kesini mau mendamaikan kalian berdua. Emang kalian gak capek apa ribut terus? Baikan dong,” pintanya, “masa udah tidur sekamar pun masih gak akur juga?”
Arka mnyunggingkan senyum. “Bagus lo kesini,” ucapnya, “tadi Papa juga kesini. Gue tebak besok pagi Mama yang kesini, trus siangnya pak RT. Gitu aja terus sampe sukses.”
Cewek itu berdecak. “Kalian nih sebenernya berantem gara-gara apa sih? Kak Chelsea kan? Yaudah kalo gitu , tanya aja langsung ke orangnya, siapa yang dia pilih. Udah. Selesai kan? Gak pake acara perang dingin gini.”
Sandra tak perlu penalaran lebih untuk mengetahui kalau kedua cowok itu sama-sama masih kesal. Karena sudah tergambar jelas di wajah mereka.
“Gue bolah jujur gak? Sebenernya kalian berdua tuh sama-sama salah, tapi masih aja ngotot gak mau disalahin.”
KAMU SEDANG MEMBACA
LYSANDRA [Completed]
Teen FictionCowok dan pacaran adalah dua impian yang teramat sangat jauh dari kata posible bagi Sandra. Tidak ada kekuatan yang dapat mematahkan fakta tersebut selama status sebagai slamdog-nya Arka masih melekat dalam dirinya. Arka, sebut saja namanya begitu...