“Hai, Kak Ali.” Sandra mengulum senyum pada kamera laptopnya, sebelah tangannya melambai pelan. “Gimana kabar Kakak? Aku harap udah lebih baik. Maaf ya, aku baru ngasih kabar sekarang. Belakangan ini, aku sibuk belajar buat UN, sama buat persiapan tes masuk perguruan tinggi.”
Senyum di wajah Sandra sedikit memudar ketika ia melirik sejenak kalender yang ada di meja, di samping laptopnya. Ini sudah dua tahun lebih sejak Ali pergi ke Singapura untuk berobat, dan belum ada tanda-tanda cowok itu akan pulih dari komanya.
“Dua tahun delapan bulan lima belas hari.” Sandra menggumam. Rasanya ini berlebihan, tapi ia menandai tanggal di kalender—terhitung sejak keberangkatan cowok itu—sebagai sebagai rutinitas hariannya. Sandra juga sering merekam dirinya sendiri, seperti yang ia lakukan saat ini.
Rekaman itu nantinya akan ia kirim ke Papa dan Mamanya di sana, yang sejak beberapa bulan lalu bahkan tak pulang sama sekali karena saking sibuknya mengurus pengobatan Ali. Sandra tak bisa menyusul ke sana, karena... harus ada yang menjaga rumah, bukan? Lagi pula, ia juga harus sekolah, belajar, dan melakoni beberapa sesi pemotretan. Ia tidak bisa menemani Ali, jadi ia mulai mengirimkan beberapa rekamannya untuk diperdengarkan ke cowok itu.
Ia berharap, semoga rekaman-rekamannya bisa menemani cowok itu. Sandra ingin Ali merasakan kehadirannya, meski tidak secara fisik. Biasanya, Papanya pasti akan langsung menelepon balik dan memberitahu detail perkembangan Ali. Namun, hal itu sudah tak terjadi sejak sebulan lalu. Sandra tak mengetahui kabar apa pun dari cowok itu.
“Oh iya, Kak.” Sandra mengusap ujung matanya yang mulai tergenang basah, mengendalikan diri agar jangan sampai menangis. “Hasil UN aku udah keluar kemarin. Aku dapat peringkat dua puluh seangkatan. Lumayan, kan? Meski gak bagus-bagus amat.” Ia terkekeh pelan, menyamarkan suaranya yang mulai terdengar bergetar. “Iya, tau. kalo Kak Ali di sini, Kakak pasti bakal ngatain aku. Tapi serius, bisa dapet segitu itu prestasi banget buat aku.”
“Aku juga habis ikut ujian masuk perguruan tinggi tiga hari lalu.” Sandra meneruskan. “Jujur ya, Kak. Soalnya susah pake banget. Sampe hampir frustasi aku ngerjainnya. Tapi untungnya, ada beberapa yang akhirnya ketemu jawabannya, meski gak semua sih,” katanya. “Hasil tesnya keluar seminggu lagi. Doain semoga aku lolos, ya, Kak.”
Hening beberapa saat.
“Aku mau wisuda besok, Kak,” kata cewek itu sedih. “Aku berharap banget Kakak bisa datang. Aku pasti bakal seneng banget. Tapi... yaudah lah.” Bahunya merosot, mengetahui kalu hal itu mustahil terjadi, apalagi dengan kondisi cowok itu saat ini. “Kakak baik-baik, ya, di sana. Cepet sembuh. Aku kangen banget sama Kakak.”
Sandra mengakhiri rekaman tersebut. Ia langsung menutup laptopnya, sesaat setelah rekaman itu dikirim. Isak tangis mulai terdengar darinya. “Jangan nangis, San. Kamu kuat. Semuanya pasti bakal baik-baik aja,” yakin Sandra pada dirinya sendiri. Tapi tetap saja, sekuat apapun ia mencoba, semakin ia tak bisa mengendalikan perasaannya. Dan, itu selalu berhasil membuatnya kembali menangis.
Tak lama, ia merasakan ada sebuah tangan mengusap lembut pundak kanannya, membuatnya menoleh. Dari sudut matanya yang berlinang, Sandra melihat Arka berdiri di belakangnya sambil tersenyum simpul. Cowok itu kini bergerak mendekat, memeluk Sandra dari belakang. “Lo gak sendiri. Gue akan selalu ada buat lo,” bisiknya di telinga cewek itu.
Tampak sebuah senyum kecil menghiasi wajah cewek itu. “Makasih ya, Bang.” Ia menyandarkan kepalanya pada pundak tegap cowok itu. Sandra senang memiliki Arka di sini, meski sebenarnya Arka juga jarang ada di rumah. Dua tahun belakangan merupakan waktu yang berat bagi cowok itu, bagi keluarga Sandra lebih tepatnya.
Arka juga jadi sangat sibuk sekarang, antara kuliah dan mengurus perusahaan. Ia ikut membantu Papanya menjalankan perusahaan, dan beberapa kali mewakili Papanya dalam rapat bersama klien. Cowok itu memang tak memiliki basic apa pun dalam hal bisnis dan menjalankan usaha, tapi ia cepat belajar, dan dapat diandalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LYSANDRA [Completed]
Teen FictionCowok dan pacaran adalah dua impian yang teramat sangat jauh dari kata posible bagi Sandra. Tidak ada kekuatan yang dapat mematahkan fakta tersebut selama status sebagai slamdog-nya Arka masih melekat dalam dirinya. Arka, sebut saja namanya begitu...