“Nih ganti baju dulu.” Renata menjatuhkan celana panjang jeans berwarna hitam, kaos polos lengan pendek berwarna putih, dan jaket denim biru ke pangkuan Arka yang tengah duduk di sofa ruang tamunya. “Ntar malah dikira gue yang nyulik lo.”
“Baju siapa ini?”
“Tadinya mau gue kasih ke cowok gue. Tapi yaudahlah ntar gue bisa beli lagi,” ucap cewek itu, “toilet ada di sana.” Ia menunjuk pintu di dekat dapur.
Tanpa bertanya dua kali, cowok itu pun langsung berjalan menuju toilet untuk berganti baju. Selang lima menit setelahnya, ia kembali menemui Renata di ruang tamu.
Ketika kembali, ternyata cewek itu tengah mengobrol dengan sang pacar di telepon. Arka merasa agak aneh dengan cewek itu, gaya bicara dan sikapnya beda jauh ketika ia berpacaran dengannya. Renata berbicara dengan gaya yang sangat manja dan centil saat dengannya, tapi kali ini, ia bahkan terkesan setengah hati menanggapi obrolan cowok yang diteleponnya.
Tapi sudahlah, kenapa juga ia memunsingkan perkara tak penting seperti itu.
Arka bergerak duduk di samping Renata tanpa suara.
Cewek itu langsung mematikan teleponnya begitu mengetahui Arka sudah kembali dan duduk di sampingnya. “Udah?” tanyanya.
Arka mengangguk.
“Sekarang kasih tau, lo mau minta bantuan apa dari gue?” tanya cewek itu lagi. Ia meletakkan ponselnya ke meja, lalu mengarahkan fokus pada Arka.
Arka mengehal napas berat. “Gue sakit.” Ia memberitahu.
“Apa?”
“Leukimia stadium akhir.”
Kedua bola mata Renata membulat begitu mendengar pengakuan cowok itu. “Kok bisa?”
Arka mengedikkan bahu. “Kata dokter gitu.”
“Kok kata dokter?” Renata mengerutkan kening tak paham.
“Ya, dokter bilang gue sakit itu.” Arka berusaha menjelaskan. “Tapi gue gak percaya. Gak mungkin aja gitu.”
“Maksud lo gak mungkin gimana?”
“Sekarang gue mau tanya sama lo. Mana ada sih orang sakit, yang gak ngerasain sakitnya sendiri? Orang kena flu aja bisa ngerasain itu dari gejalanya. Lha gue?” jelas Arka. “Gue bahkan gak ngerasa sakit sedikit pun.”
Mata cewek itu menyipit pada Arka. “Ini lo gak lagi nge-prank gue kan, Ar?”
“Gue serius.” Arka mengetikkan sesuatu pada ponselnya, kemudian memberikan benda tersebut pada Renata. “Nih lihat, gue udah browsing gejala-gejala leukimia. Gue gak punya gejala itu. Ya, minus mimisan sih, gue semper tiga kali mimisan, tapi itu kan karena kecapekan. Bukan karena gue sakit.”
Renata mendengus. “Iya. Iya. Gue percaya,” serahnya, “lo sehat wal afiat tanpa kurang satu apapun. Kecuali otak lo yang gak beres.” Cewek itu memelankan suaranya saat mengucapkan kalimat terakhir.
“Trus sekarang lo mau apa? Nyelidiki kenapa hasil tes lo bisa gitu?” sambung cewek itu.
“Nah. Itu pinter.”
“Emang gue pinter kali,” dengus Renata. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu. “Eh bentar, lo tadi bilang kabur dari rumah sakit kan? Berarti keluarga lo sekarang lagi nyariin lo. Kalo mereka nyari lo sampe kesini gimana? Bisa gawat urusannya nanti.”
“Itulah sebabnya gue kesini. Karena gak bakal ada yang cutiga kalo gue ada di tempat lo,” ucap Arka, “lagian gue lihat daritadi lo cemas banget gue disini. Ada masalah?”
KAMU SEDANG MEMBACA
LYSANDRA [Completed]
Teen FictionCowok dan pacaran adalah dua impian yang teramat sangat jauh dari kata posible bagi Sandra. Tidak ada kekuatan yang dapat mematahkan fakta tersebut selama status sebagai slamdog-nya Arka masih melekat dalam dirinya. Arka, sebut saja namanya begitu...