“Lo nangis?”
Pertanyaan cowok itu langsung mendapat sambutan berupa geplakan pada lengan. “Nih anak baru sadar juga udah nyebelin aja,” geram Renata.
Arka tertawa kecil melihat ekspresi kesal cewek itu. “Iya. Iya, ampun,” katanya, “tapi lo belom jawab pertanyaan gue. lo nangis? Nangis beneran?”
“Kagak jubaedah gue kelilipan beling debus. Ya iyalah nangis.” Renata menyusut hidungnya yang berair. “Lo bikin semua orang cemas tau,” jujurnya.
Arka menautkan kening, tak paham dengan perkataan Renata. “Mkasudnya? Emang gue pingsan ya? Berapa lama” Ia mengubah posisi menjadi duduk, namun pening hebat yang menghantam kepalanya menbuatnya sedikit kesulitan bangun.
“Sini biar gue bantu.” Renata menangkupkan kedua tangannya pada kedua sisi bahu cowok itu, membantunya duduk, lalu membenarkan posisi selang oksigen yang sedikit bergeser dari hidung cowok itu.
“Thanks.”
“Sebenernya lo kenapa sih, Ar?” tanya cewek itu. Sorot matanya tampak cemas. “Lo lagi bohongin gue ya? Sebenernya lo sakit-”
“Sumpah demi apa pun gue gak sakit.” Arka mengangkat dua jarinya. “Gue cuma pingsan. Eh gue pingsan ya tadi? Setelah lo nyuruh gue pingsan yang waktu di koridor itu, gue ngerasa pinggang gue kayak kesengat lebah gitu, trus kepala gue pusing,” jelasnya, berdasarkan apa yang ia ingat.
“Bohong kan lo.” Renata menuding.
“Serius, gue gak bohong. Tadi-”
“Bukan tadi, tapi kemaren,” ralat Renata, “dan lo cuma bukan pingsan, tapi koma. Lo koma dua hari, Ar.”
Arka menelengkan kepalanya ke kanan. “Hah? Gue koma? Kok bisa?” bingung cowok itu.
Cewek itu sudah mati-matian menahan tangannya agar tidak samapi mencakar-cakar tampang menyebalkan Arka. Setelah semua yang terjadi, bisa-bisanya cowok itu bertanya sesantai itu. Jika saja ia tidak ingat Arka baru saja sadar dari koma, pasti sudah habis riwayat cowok itu di tangannya.
“Bang Arka,” Renata memberikan senyum pada cowok itu, senyum yang dipaksakan. “Lo pingsan, trus habis itu kejang-kejang. Sesak napas juga sampe tuh garis-” Ia menunjuk monitor detak jantung di sisi kiri ranjang Arka. “Sempet lurus. Dan lo gak bangun sampe dua hari lamanya. Apa coba kalo bukan koma namanya?” jelasnya panjang lebar, meski sebetulnya pingsan dan tidak bangun dua hari sudah cukup menjelaskan makna kata itu.
Tak terasa, penglihatan Renata mulai mengembun. Ia masih ingat betul bagaimana paniknya ia ketika menyaksikan semua kejadian yang barusan disebutkannya.
Tangan Arka yang terbebas dari selang infus terulur, mengusap pipi Renata. “Jangan nangis. Air mata gak pantas buat lo,” ucapnya, “pasti lo panik banget ya waktu itu?”
“Bukan cuma gue, Mama, Papa sama adik lo juga. Mereka sedih banget lihat kondisi lo.”
Air muka cowok itu berubah ketika mendengar Renata mengucap kata adik. “Lo udah-”
Cewek itu mengangguk. “Gue udah tau kalo Sandra adik lo.” Ia mengungkapkan. “Bener-bener gak ada akhlak ya lo.” Raut wajahnya kini berubah kesal.
BISA-BISANYA ARKA MENIPUNYA SELAMA INI?! BENAR-BENAR TIDAK BISA DITERIMA!
“Gue tau tuh muka,” kata Arka sedikit takut. “Riani, gue baru sadar dari koma asal lo tau. Lo gak mau kan berurusan sama polisi gara-gara menganiaya pasien?”
“Gue bukan Riani!” sergah cewek itu. “Nyebut nama aja masih salah mau sok-sok-an ngerayu.” Ia membuang muka kesal.
“Rini.” Arka memanggil-manggil. “Reni. Rani. Aduh, siapa sih nama lo?” Ia berusaha keras mengingat nama cewek yang kini ada bersamanya. Aneh sekali, tak peduli sesering apa pun ia mendengar nama cewek itu disebut, tetap saja namanya akan cepat hilang dari ngatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LYSANDRA [Completed]
Подростковая литератураCowok dan pacaran adalah dua impian yang teramat sangat jauh dari kata posible bagi Sandra. Tidak ada kekuatan yang dapat mematahkan fakta tersebut selama status sebagai slamdog-nya Arka masih melekat dalam dirinya. Arka, sebut saja namanya begitu...