18

23 3 0
                                    

(Hafi pov)

Aku sedang menemani Raka bermain dan menonton kartun kesukaannya setelah isya. Ayah masih mengajar di kelas Diniyah putra den ibu di kelas Diniyah putri. Sementara Mas Al masih menyelesaikan pekerjaan kantornya.

Tentang istri baru Mas Al, aku tidak peduli dengan maduku itu. Bahkan namanya saja aku sudah lupa. Saat aku kembali dari dapur setelah mengambil minum, aku melihatnya duduk bersama Raka.

"Hai boy, namanya siapa?"

"Raka Tante. Tante ini siapa ya kok dari tadi siang di sini terus?"

"Tante i--

"Saya tidak ingin Raka memanggil mu ibu atau apapun sejenisnya" aku segera memotong perkataannya. Sebelum dia mengatakan jika dia juga ibunya Raka. Aku tidak akan ikhlas dia dipanggil ibu oleh Raka. Cukup aku berbagi suami dengannya. Tapi tidak untuk Raka yang sudah ku anggap seperti anak kandungku sendiri.

"Tapi aku juga istrinya kak Al, berarti Raka juga menjadi anakku kan"
Dia tidak terima aku melarangnya menyebut ibu untuk Raka.

"Saya tau, tapi saya tidak ikhlas Raka memanggilmu ibu"

"Mba kita punya hak yang sama loh"

"Ter.se.rah"

"Aku bilangin ke kak Al loh mba"

"Saya sudah bilang terserah kamu, saya ngga peduli." Aku beralih menatap Raka, berpesan padanya untuk membereskan mainannya jika sudah selesai bermain.

Aku lebih memilih mengakhiri perdebatan ku dengannya dan masuk ke kamar. Sakit kepalaku kembali terasa. Jadi aku akan istirahat sebentar.

Setelah merasa lebih baik, aku kembali ke ruang tengah. Rupanya ayah dan ibu sudah kembali setelah mengajar Diniyah. Mas Al juga sudah keluar dari ruang kerjanya. Kami semua duduk di sofa. Raka masih bermain di atas karpet berbulu halus.

'cup'

Mas Al tiba-tiba mengecup pipiku. Reflek, aku memukul pahanya pelan sebagai peringatan jika masih ada ayah, ibu dan Raka di sini. Raka yang menyadari aku sudah kembali ke ruang tengah, berjalan mendekat padaku. Aku segera mendudukannya di pangkuanku.

Aku merasa seperti ada yang sedang menatapku tajam. Ternyata memang benar, ibu yang menatapku tajam ambil sesekali melirik ke arah perutku. Aku paham, dengan segera aku menurunkan Raka kembali setelah menciumnya dan menyuruhnya segera ke kamar.

Setelah Raka masuk kamar, Mas Al malah merebahkan tubuhnya ke arahku, menjadikan pahaku sebagai bantalnya. Ibu hanya menggeleng melihat tingkah Mas Al. Wajah Mas Al berbalik, menghadap perutku. Menciumnya bertubu-tubi.

"Mas udah ciumnya, geli tau"

"Sebentar lagi, Mas belum puas. Semoga Al kecil segera hadir di sini" tangan Mas Al mengusap perlahan perutku. 'andai kamu sudah tau Mas, Al kecil bahkan sudah hadir  di sini Mas. Maaf aku belum bisa memberitahumu'

Kami saling memandang, tapi aku yang memutus kontak terlebih dulu. Lalu mengambil remote mengganti saluran tv. Aku melihat dia keluar kamar, menghampiri kami dan duduk di sebelah kiri Mas Al. Seketika mood ku turun. Aku berpamitan kembali ke kamar daripada berada di sekitarnya.

********************

Sebuah usapan lembut mendarat di kepalaku. Aku segera membuka mataku. Pertama yang ku lihat adalah Mas Al. Loh, kenapa Mas Al di sini?

"Mas kenapa di sini?"

"Memangnya kenapa? Ini kan kamar Mas juga"

"Bukannya ini malam pertama Mas dengan dia"

"Mas ngga peduli fi"

"Ngga boleh kaya gitu dong Mas, Mas harus adil. Aku nggak papa kok tidur sendiri"

'tok' 'tok'

Ada orang yang mengetuk pintu kamar kami. Mas Al yang membukanya. Aku tidak tahu siapa yang mengetuk pintu, kerena Mas Al hanya membuka sedikit pintunya.

"Siapa?" Tanyaku saat Mas Al sudah kembali menutup pintunya dan kembali duduk di sebelahku.

"Dia"

Aku mengernyit bingung.

"Dia nungguin Mas, dia kira malam ini mau tidur di kamarnya"

"Kan aku udah bilang tadi Mas, harusnya Mas ke kamarnya"

"Stop it Hafi. Berhenti bahas hal itu. Berhenti bertingkah seolah-olah kamu biasa saja dengan semua ini. Berhenti berpura-pura dengan perasaanmu. Mas tau hatimu sakit melihat Mas menikah dengannya. Mas tau kamu belum sepenuhnya ikhlas"
Mas Al mengatakan itu semua dengan sarkas.

Bagus, pada akhirnya mas akan tau hal itu juga. Sejak aku mengenalnya, aku memang tidak bisa menyembunyikan semua rasa sakit darinya.

Setetes air mataku mengalir, namun aku segera menghapusnya kasar. Untungnya mas tidak menyadarinya. Mas Al Naik ke ranjang, berbaring memelukku. Dengkuran halus terdengar. Mas Al langsung tertidur.

Dengan hati-hati aku mengubah posisiku menjadi memunggunginya. Sial, air mataku kembali menetes, bahkan berubah menjadi aliran sungai. Tapi aku tidak terisak. Sudah terbiasa sejak dulu selalu menangis tanpa suara. Tiba-tiba sebuah lengan kekar melingkari perutku. Mas Al memelukku dari belakang.

New LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang