(Al pov)
Esoknya, mereka datang untuk meminta jawaban. Hafi datang membawa minum juga makanan ringan. Setelah menaruh cangkir di depan masing-masing tamu, Hafi duduk di sebelahku. Aku menggenggam tangannya yang dingin dengan erat. Menyalurkan ketenangan karena Hafi terlihat sangat gugup bahkan tangannya sedikit bergetar.
"Saya sudah membuat keputusan" Hafi meremas tanganku.
"Saya akan menikahinya. Hari ini jam 10. Silakan kalian siapkan semuanya" setelah mengatakan itu aku pergi bersama Hafi ke kamar. Meninggalkan mereka.
"Mas tau ini berat buat kamu, walaupun awalnya kamu yang meminta mas menikahinya"
Kupandang wajahnya yang hanya menampilkan ekspresi datar. Tapi matanya menyiratkan berbagai rasa yang sedang berkecamuk dalam dirinya. Hafi menggeleng, menyangkal perkataanku."Jangan membohongi perasaanmu sendiri sayang, jangan menyimpan luka sendiri, ada mas di sampingmu. Mas merasa tidak berguna jika kamu menutup diri"
Tangisnya pecah mendengar perkataanku. Aku memeluknya, menenangkannya.
Hampir satu jam Hafi menangis. Sekarang sudah jam 10 dan aku harus kembali menemui mereka.
"Mas harus menemui mereka. Kalau kamu ndak kuat di sini aja" kataku padanya
Hafi melepas pelukanku dan mengatakan ingin ikut. Hafi ke kamar mandi, mungkin mencuci wajahnya agar terlihat lebih fresh.
Kami keluar bersama, berjalan ke ruang tengah. Tempat akad diadakan. Hafi duduk di sebelah ibu. Dan akad pun dimulai.
"SAH"
Kata itu terucap usai aku menyelesaikan kalimat qobul. Aku menoleh ke arah ibu, Hafi tidak ada di samping ibu. Sejak kapan perginya? Aku melirik ke arah lain, mungkin Hafi berpindah posisi. Tapi tetap saja tak kutemukan.
Aku menatap ibu dengan raut bertanya. Ibu mengatakan Hafi kembali ke kamar tanpa suara. Aku langsung berdiri dan berjalan cepat menuju kamar. Persetan dengan mereka semua. Aku tidak peduli jika mereka menganggap ku tidak sopan atau apalah itu. Toh ini semua bukan keinginanku.
Masuk ke kamar, aku melihat Hafi terduduk di lantai tepi ranjang. Memeluk lututnya sendiri. Pundaknya juga sedikit bergetar. Hafi menangis lagi. Jari ini dia terlalu banyak mengeluarkan air mata. Rasa sakit menyeruak dalam hatiku.
Aku mendekat padanya, menuntunnya duduk di tepi ranjang lalu kembali memeluknya.
Sejak aku mengenalnya sebagai istriku, Hafi tidak pernah mengatakan kesedihannya pada orang lain. Hafi hanya akan diam dan tetap bersikap seperti biasa. Sesedih apapun atau bahkan sesakit apapun hatinya, tetap saja selalu bungkam. Bersikap biasa, selalu tersenyum. Senyum untuk membunyikan kesakitannya.
Meskipun aku dapat dengan mudah menebak apa yang Hafi rasakan, aku tetap ingin dia ber bagi cerita tentang kesakitannya itu padaku.
Hafi sudah lebih tenang bahkan isakannya tak terdengar lagi. Tergantikan dengan dengkuran halus. Hafi tidur, lelah menangis. Aku memandangi wajahnya yang tertidur damai, mengecup dahinya lalu aku merebahkan tubuhnya agar lebih nyama. Tak lupa juga menyelimutinya.
Saat akan mengambil ponsel di laci nakas, aku melihat sebuah amplop cokelat berlogo rumah sakit. Milik siapa ya? Apa Hafi sakit?
Karena penasaran, aku membukanya. Atas nama Hafi. Setelah membacanya, aku tak bisa berkata apapun. Disana tertulis kata POSITIF HAMIL. Jadi, Hafi hamil.
Alhamdulillah, aku sangat bahagia. Tapi terselip kemarahan dalam hatiku. Kenapa Hafi tidak memberitahuku.
Huh, aku kembali melipat suratnya dan memasukkannya ke amplop seperti semula. Aku keluar kamar. Duduk di ruang makan.
"Al, ibu mau mengatakan sesuatu" ibu tiba-tiba duduk di depanku. "Tiga hari lalu Hafi pingsan. Ibu membawanya ke rumah sakit. Mungkin Hafi sudah mengatakannya padamu"
"Hmm......Hafi tidak mengatakan apapun padaku tentang itu. Aku tidak sengaja menemukan surat dari dokter, Hafi hamil"
"Ibu yakin Hafi punya alasan kenapa tidak memberitahuku. Ibu hanya berpesan jaga Hafi dengan baik, jangan sampai kelelahan atau dia akan sakit"
"Sakit?"
"Sakit di kepalanya itu berpengaruh terhadap daya tahan tubuhnya juga janinnya"
Aku hanya diam mendengarkan semua pesan ibu. Tanpa diminta Pun aku akan selalu menjaganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Life
De TodoKehidupan Hafi setelah ia menggapai semua impiannya. Kisah pernikahannya dengan mantan mafia yang sekarang menjadi mualaf. Jangan kalian pikir hidupku bahagia setelah apa yang ku impikan tercapai. ~Hafidza Az Zahrani ( Hafi) Aku adalah mantan ketua...