4: Rooftop

28 3 0
                                    

Malam yang indah. Banyak bintang yang berlomba menunjukkan betapa gemerlapnya mereka. Aku masih memikirkan siapa laki-laki tadi siang. Hati kecilku mengatakan laki-laki itu adalah dia, orang yang membuatku terpesona untuk pertama kalinya. Tapi hatiku yang lain mengatakan hal sebaliknya.

Sekilas ingatan muncul dalam pikiranku, aku teringat perkataan ibu dan mama yang mengatakan aku sudah menikah walaupun siri. Aku belum pernah sama sekali bertemu dengan suami ku itu. Oh...aku semakin pusing memikirkan itu semua.

"Assalamualaikum..."
Seseorang mengucap salam aku menjawab pelan hampir tak terdengar. Orang itu duduk di sampingku, sangat dekat, bahkan badan kami hampir saling menempel. Tentu saja aku risi, aku bangun dan berniat pindah tapi sebuah tangan mencekal erat pergelangan tanganku. Dia laki-laki tadi siang, berani sekali dia menyentuh yang bukan mahramnya.
"Lepas" desisku
Dia pun melepaskan tanganku, ada sorot ketidaktepatan saat dia melepas tanganku. Apa maksudnya.
Saat aku akan menjauh darinya dia melarangku
"Tetap di sini jangan menghindar apalagi pergi" katanya tegas.
Allahu Rabbi apalagi ini...
Aku pun kembali duduk tapi sedikit menjauh dari posisinya.

Keheningan melanda beberapa menit.
"Kenapa belum tidur? Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau tidak merasa kedinginan?" Tanya nya beruntun.
"Belum ngantuk, hanya duduk menikmati bintang" jawabku. Aku tak menjawab pertanyaan yang ketiga. Memang sih aku merasa dingin, hampir menusuk tulang meskipun aku memakai baju yang cukup tebal.

Tiba-tiba ada jas yang tersampir manis di pundak ku. Aku memandang pelakunya, laki-laki di sampingku
"Agar kau merasa lebih hangat, aku tau kau  kedinginan" katanya seolah tau apa yang aku pikirkan.
Apakah dia tidak merasa dingin, padahal dia hanya memakai kaos tipis.
"Apa kau tidak kedinginan dengan hanya memakai kaos tipis itu?" tanyaku
"Tidak, kau lebih penting dari apapun bahkan nyawaku sendiri" jawabnya
Hei..apa di menggombal padaku? Huh...tidak akan berpengaruh padaku.

"Hei..apa kau tau Gus Al? Tanyaku
"Jangan memanggilku dengan sebutan itu"
"Hah?" Apa maksudnya? Dia sebenarnya siapa?
"Hufft....aku Gus Al dan aku tidak suka di panggil Gus oleh siapapun termasuk kau"
"Oh.."
Eh apa tadi, dia bilang dia Gus Al berarti, oh tidak aku sudah bersikap tidak sopan padanya.
"Kenging nopo mboten purun di panggil  gus, njenengan kan putrane kyai?
Aku mengganti bahasa bicaraku supaya lebih sopan terhadap putra kyai ku.
"Sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu" katanya lirih
"Kenapa bahasamu berubah?
"Haris sopan kalih keluaga ndalem"
"Kau juga termasuk keluarga ndalem" katanya pelan
Kalimat itu lagi, banyak yang mengatakan aku bagian dari keluarga ndalem saat aku mengelak jika mereka memanggilku Ning Hafi. memangnya aku sebagai apa dalam keluarga ndalem aku hanya santri yang mengabdi pada Kyai.

"Bolehkan aku meminta sesuatu?" Pintanya.
"Nggih angsal"
"Panggil aku mas Al"
Heeh...dia minta di panggil mas apa alasannya?
"Turuti dan jangan membantah" katanya lagi dengan tegas
Jika sudah begini aku tak bisa berkutik.
"Nggih m-m...mas" aku menjawab gugup saat aku mengucapkan kata mas.
"Malam ini kau tidur di kamar ndalem, kata ibu!!" Perintahnya
Aku pun menurut.

New LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang