3: Mungkinkah Dia?

27 3 0
                                    

Pertemuan kedua

(Hafi pov)

2 tahun terlewati. Aku sudah menyelesaikan pendidikan doktor ku sejak lama. Sekarang aku dosen tetap di universitas ku dulu. Sejak SMA hingga saat ini aku ngga pernah jadi anak kost. Aku lebih memilih menjadi santri dan tinggal di pondok pesantren.

Saat ini aku nyantri di pesantren dekat universitas. Lebih tepatnya mengabdi. Aku juga menjadi pembimbing untuk santri yang mau jadi Hafidzah. Tidak banyak yang mau jadi seorang Hafidzah di sini karena di sini lebih fokus pada pengajaran kitab kuning.

Sing ini aku sedang menyemak hafalan dari santri di ndalem(sebutan untuk rumah pengasuh ponpes atau rumah kyiainya).
Selesai dengan para santri aku berniat untuk kembali ke kamar tapi panggilan dari ibu atau yang sering dipanggil bunyai oleh para santri yang lain mengurungkan niatku. Aku memanggilnya ibu karena itu memang perintah langsung dari beliau. Katanya biar beliau merasakan punya seorang putri. Sampai sekarang beliau belum dikaruniai putra ataupun putri.

Ibu memintaku untuk sholat Dzuhur berjamaah di ndalem. Aku pun menurutinya. Ku kira hanya aku dan ibu saja, tapi ada laki-laki yang sepertinya akan menjadi imam. Aku tak tau dia siapa, mungkin salah satu kang santri.

Shalat selesai, saat laki-laki itu berbalik aku melihat wajahnya sekilas. Aku merasa wajah itu sedikit familiar dalam ingatanku. Tapi siapa? Tanyaku dalam hati.
Oh...aku ingat, wajahnya sangat mirip dengan dia. Mungkinkah itu dia? Bukankah dia atheis.
Ah...masa bodo mungkin hanya mirip.

Aku sampai di kamar asrama. Ada salah satu anak kamar dia masih mahasiswa. Dia bertanya padaku.
"Mba darimana? Ko nya sholat berjamaah di mushola tadi?
Mba dari ndalem sholat di sana juga"
"Kok tumben?" Dia bertanya dengan heran, pasalnya aku memang baru beberapa kali sholat di ndalem itupun jarang.
"Bu nyai yang minta", jawabku
"Oh..., Eh mba tau ngga?
"Apa?", Gosip terbaru ya?"
Dia hanya tersenyum. Pasti bener gosip.
"Aku denger dari mba-mba ndalem putra nya bunyai pulang. Namanya Gus Al kalo nggak salah. Ada yang bilang dia juga mau nikah yang kedua sama santri sini"
"Gus Al? Ko mba ngga pernah tau yah..maksudnya nikah yang kedua itu apa sih? Dia mau poligami gitu?"
"Iihh.....bukan, jadi ceritanya itu dulu sebelum masuk Islam Gus Al itu ketemu sama seorang perempuan, aku nggak tau siapa namanya, nah perempuan itu salah satu faktor pendorong Gus Al buat masuk Islam. 3 bulan lalu Gus Al menikahi perempuan itu tapi nikah siri. Nah, sekarang Gus Al mau menikahi perempuan itu secara sah di mata hukum dan agama." Ceritanya panjang lebar.
"Oh.." aku hanya ber-oh ria. Dari cerita tadi berarti si Gus Al itu mualaf dong.
"Mba kira-kira siapa perempuan itu yh?"dia bertanya dengan raut penasaran.
"Ya mana mba tau, ngapain juga mikirin itu, unfaedah banget."
"Iihh...mba mah ngeselin"
"Emang",jawabku sarkas.
Dia pergi dengan muka cemberut.

(Al POV)

Akhirnya hati ini aku bisa melepas rindu dengan ayah dan ibu. Hai..masih ingat aku? Yupss aku adalah Al, Alevion David, mantan ketua mafia Blood Diamond Mafia yang sekarang menjadi seorang Muslim. Yes, i'am mualaf.

Setelah pertemuanku dengan perempuan yang kutahu bernama Hafidza di taman dulu, aku mulai mempelajari tentang Islam. Ternyata Islam tak seperti yang di berita televisi atau koran tentang teroris itu. Aku belajar Islam pada seorang kyai pemilik pesantren di komplek taman itu. 3 bulan setelah nya aku pun resmi jadi mualaf. Saat aku mengutarakan niat ku untuk mempelajari Islam padanya dia malah memintaku untuk menjadi putranya. Berhubung dua belum mempunyai anak laki-laki maka aku dengan senang hati menerimanya. Sungguh diriku sangat beruntung menjadi anaknya. Dia orang yang penyayang. Dia bercerita jika dia juga memiliki santri yang dianggapnya dan istrinya adalah putri mereka. Yang kutahu perempuan itu adalah Hafidza.

Saat ini aku sudah menyelesaikan pendidikan agamaku di sebuah pesantren di daerah Banyumas Jawa Tangah selama satu setengah tahun. Berhubung aku pria cerdas jadi waktu satu setengah tahun sangat cukup untukku. (Sombong banget si Al)

Sekarang saatnya aku pulang dan membantu ayah untuk mengurus pesantren sekaligus menikahi Hafidza untuk yang kedua kalinya. Kenapa yang ke dua kalinya, karena aku sudah menikahinya 3 bulan yang lalu. Nikah siri.

Jam 9 pagi akhirnya aku sampai rumah dan disambut pelukan hangat dari ibu. Kenapa ngga dapat pelukan dari ayah, karena pasti ayah sedang sibuk di pesantren putra.

Aku sedang berbaring di tempat tidur saat ada yang mengetuk pintu.
'tok...tok..'
"Al, ibu boleh masuk" suara di balik pintu. Oh ternyata ibu.
"Masuk aja Bu, ngga Al kunci kok" jawabku dengan sedikit keras karna jarak tempat tidur dengan pintu lumayan jauh.
Ibu pun masuk dan duduk di sofa.
Aku pun mengikutinya duduk di sofa.
"Kamu ngga bertemu Hafi? Dia di ruang tamu lagi terima setoran santri"
"Ngga lh Bu nanti aja, dia kan belum tau kalau aku suaminya. Oh ya Bu, boleh minta tolong ngga, bilang sama Hafi sholat Dzuhur di sini aja. Aku yang jadi imamnya." Kataku memohon
"Iya nanti ibu bilang ke Hafi"
"Ok.. makasih ibuku yang cantik. Muuaahh
Aku mencium pipi ibu. Ibu hanya tersenyum melihat tingkahku. Semoga saja ayah tidak melihat apa yang kulakukan. Bisa habis aku diamuk sama ayah.
"Ibu keluar ya, kamu istirahat"
"Oke Bu"
Ibu keluar dan menutup pintu

Adzan Dzuhur berkumandang, aku bersiap untuk sholat berjamaah dengan ibu dan istriku itu. Sholat selesai, aku berbalik untuk kembali ke kamar, aku sengaja menatapnya saat aku melewatinya. Dia juga memandangku, dia terkejut, mungkin merasa aku tidak asing untuknya.

Tunggu kejutannya istriku sayang..gumam ku dalam hati dan tersenyum evil.

New LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang