21

22 0 0
                                    

(Stay Al pov)

Aku duduk di samping brankar Hafi, yang sudah dipindah ke ruang rawat. Sejak di pindahkan Hafi belum juga membuka matanya. 'aku akan membuat perhitungan dengan orang yang membuat Hafi seperti ini' kataku dalam hati dengan emosi.

(Flashback)

Seorang wanita dengan balutan jas putihnya keluar dari ruang UGD setelah memeriksa Hafi. Aku segera menghampirinya.

"Bagaimana keadaan istri saya, dok?" Tanyaku.

"Istri anda sudah baik-baik saja. Sebaiknya istri anda harus bed rest selama satu Minggu. Kandungannya melemah karena  sepertinya ibu Hafi terlalu banyak memikirkan suatu hal"

(Flashback off)

Aku teringat dengan perkataan dokter tentang kondisi Hafi. Apa yang Hafi fikirkan sebenarnya. Aku segera menelpon sekretaris ku. Memintanya mencari tau apa yang dilakukan Hafi selama aku pergi.

Hari sudah akan berganti, hampir jam dua belas malam. Hafi masih belum sadar juga. Aku selalu duduk di sampingnya tanpa beranjak sedikitpun. Esok paginya aku terpaksa harus pergi ke kantor, ada meeting yang tidak bisa ku wakilkan pada sekretarisku. Sebelum berangkat aku sudah meminta ibu untuk menggantikan ku menjaga Hafi selama aku pergi ke kantor.

Sampai di kantor aku segera masuk ke ruang meeting yang berada di lantai 15. Ternyata semua orang sudah hadir, sepertinya aku sedikit terlambat. Di tengah-tengah meeting, tiba-tiba ponselku bergetar di atas meja. 'ibu is calling'.

Di telfon, ibu mengatakan Hafi sudah sadar, membuatku dengan cepat kembali masuk ke ruang meeting.

"Kita cukupkan pertemuan kali ini. Terimakasih telah hadir, selamat siang" kataku pada seluruh orang yang ada di ruangan ini.

Aku keluar ruangan menuju besemant kantor. Masuk ke mobil dan bergegas ke rumah sakit. Tentang kegiatan Hafi selama aku pergi, aku sudah mengetahuinya. Juga perbuatan laki-laki tidak dikenal itu pada istriku. Aku sama sekali tidak marah pada Hafi. Aku tahu pasti itu hanya sebuah jebakan. File foto Daan video yang kudapat terdapat dua angel yang berbeda.

Foto pertama yang kulihat, jika tidak diamati dengan benar pasti yang melihatnya akan terlihat seperti pasangan yang sedang berpelukan di tengah-tengah koridor sebuah bangunan. Tapi foto kedua sangan berbeda apalagi dari rekaman CCTV yang kudapat.

Sampai di depan ruang rawat Hafi, aku membuka pintu perlahan, di dalam ibu duduk di sofa dengan sebungkus cemilan di pangkuannya. Aku menghampiri ibu dan menanyakan keadaan Hafi. 'hafi sudah tidur' kata ibu tanpa suara. Aku hanya mengangguk dan mendudukan diri di samping ibu.

"Ibu pulang sekarang aja, aku yang menjaga Hafi" kataku pada ibu.

"Yo wes, ibu pulang. Jangan lupa makan, jaga kesehatan. Assalamu'alaikum"

Ibu keluar ruangan. Aku menjawab salam ibu lirih. Dengan perlahan aku mendekati brankar Hafi. Mengusap kepalanya dan mencium keningnya sekilas.

"Mas bahagia kamu sudah sadar" bisikku pelan di telinganya.

Kelopak matanya terbuka perlahan, sepertinya bisikanku membuatnya bangun.

"Maaf, mas buat kamu bangun" kataku pelan. Hafi tidak menjawab sama sekali. Hanya memandangku lekat.

Setetes air kulihat keluar dari sudut matanya. Sebelum aku melihat tetesan air yang lain, aku segera memeluknya. Mendekapnya dengan hangat meski baju yang ku pakai sudah basah dengan air matanya.

Semua itu tak berlangsung lama, tiba-tiba Hafi melepas pelukannya dan mengalihkan pandangannya masih dengan air mata yang mengalir di wajahnya. Sederas apapun air matanya mengalir, Hafi masih tetap diam tanpa terisak. Kuraih tubuhnya kembali agar kupeluk, tapi Hafi menepis tanganku.

"Kenapa?" Tanyaku padanya setelah kurasa Hafi sudah lebih tenang.

Hanya bunyi mesin pendingin yang ku dapat dari pertanyaanku. Aku masih menunggu Hafi membuka mulut, menjawab pertanyaanku. Aku masih sabar.

Lima belas menit sudah berlalu, aku tak kunjung mendengar jawaban dari Hafi. Dia masih setia memandang keluar jendela dengan pandangan kosong.

"Kenapa ngga jawab pertanyaan mas?" Tanyaku lagi padanya.
Kali ini Hafi memandangku, mulutnya terbuka akan mengatakan sesuatu, tapi kembali tertutup. Saat aku mulai jengah dan hendak pindah ke sofa, Hafi mengatakan hal yang membuatku sedikit marah.

"Aku nggak pantas untuk mas" katanya.

"Siapa yang suruh kamu mangatakan itu?" Nada yang ku gunakan mulai meninggi.

"Sejak awal memang aku ngga pantas bersanding denganmu mas. Aku dan kamu nggak sebanding. Dan sekarang aku dengan laki-laki i......"

Sebelum Hafi selesai bicara, aku sudang membukngkam mulutnya dengan bibirku. Menciumnya dengan kasar.

"Mas nggak menyalahkan kamu. Mas tahu kamu nggak akan melakukan itu. Mas tau semuanya. Itu hanya agar kita bisa berpisah. Ada orang yang ingin kita berpisah. Kejadian itu lebih baik kamu lupain aja. Mas nggak akan mempermasalahkan. Sekarang kamu mending tidur lagi"

Hafi menuruti perkataanku untuk tidur. Dengkuran halus mulai terdengar. Hafi sudah terlelap. Aku pindah duduk di sofa, mengerjakan sebagian pekerjaan yang belum ku selesaiakan.

*****

Satu Minggu Hafi dirawat, sekarang adalah saatnya Hafi pulang. Selesai mengepack perlengkapan Hafi selama seminggu di sini, aku beralih memnuntun Hafi turun dari tempat tidurnya. Dia meringis saat baru saja berdiri. Tangannya mengelus perutnya yang sedikit membuncit dengan pelan. Aku pun berjongkok di depannya, meraih pinggangnya agar lebih dekat. Aku mengusap perutnya perlahan dan memberi kecupan ringan.

"Masih sakit?" Tanyaku.

Hafi menggeleng dengan senyum manis di bibirnya.

"Makasih" katanya. Aku mangangguk menanggapi ucapan terima kasihnya.

Di depan loby rumah sakit sudah ada kang Abdul yang menunggu kami. Dia yang di tugaskan menjemput kami.

Mobil sudah bergabung bersama kendaraan lain di jalan raya. Perjalanan ini hanya hening yang menghiasi. Hafi menyenderkan kepalanya di bahuku. Mungkin sebentar lagi akan terlelap.

"Mas Al"

Seseorang memanggilku,

"Mas Al, dipanggil ko Ndak di jawab" suara itu kembali memanggilku.

Sebuat remasan ringan pada tanganku membuatku menoleh pada Hafi. Wajahnya tertekuk sempurna.

"Kamu manggil mas?" Tanyaku.

"Nggak, tadi ada setan yang manggil" katanya.

"Maaf" kataku. Lalu aku mencium bibirnya.

Tidak seperti perempuan pada umumnya yang merona saat di cium, Hafi malah memukul lenganku pelan.

"Ada Kang Abdul" katanya.
Aku terkekeh ringan mendapat responnya.

Kami sudah sampai di rumah. Di teras ada Fika, istri keduaku yang sepertinya sedang menunggu kami. Fika memeluk Hafi ala perempuan. Aku sedikit curiga dengan sikapnya kali ini. Setelah Hafi dan Dika masuk ke dalam, aku mengirim pesan pada sekretarisku. Memintanya mengawasi Fika.

New LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang