Tetes

29.3K 3.9K 578
                                    

Dahulu, ruangan penuh obat itu terasa hangat, ada obrolan yang saling terbalas atau gelak tawa ringan telah menjadi eksistensi kamar itu.

Sekarang, kamar itu menjadi sedikit sepi.

Tak ada lagi kunyahan permen karet disana, atau siulan A thousand year bahkan suara kertas yang dipindah halaman per halaman. Lenyap. Sunyi.

Satu-satunya suara yang tersisa hanyalah monolog Kageyama.

Itupun jika Kageyama sedang ingin mengajak lelaki yang koma itu berbicara.

Karena terkadang lelaki suram itu hanya diam, menatap wajah lelaki oranye dengan mata sayu nan lelah.

Hinata berada diantara hidup dan mati. Dia hanya bisa terdiam terbaring diatas ranjangnya. Tak bergerak, tak tertawa, tak tersenyum, tak membaca buku. Dia tertidur.

Kageyama sudah berada disana hampir sebulan lebih lamanya. Pulang dua atau tiga hari sekali per minggunya.

Itupun hanya untuk mandi dan berganti pakaian.

Dia memang masih berangkat kuliah. Tak jarang juga bolos. Malahan lebih sering bolos.

Ketika dia berangkatpun, yang dia lakukan hanya melamun di bangkunya.

Kelas per kelas.

Hingga selesai. Dan pulang.

Kadang, Kageyama juga duduk di halte sepulang sekolah untuk waktu yang lama. Duduk sendiri.

Meski begitu,

Tempat kesukaan Kageyama masih sama. Kursi disamping ranjang Hinata. Tepat disisinya ada infus yang tergantung.

Kageyama tidak berani lagi tidur bersama Hinata. Dia tidak akan mau karena Hinata tidak memerintahkannya.

Jadi?

Apakah selama ini Kageyama memeluk Hinata ketika tidur hanya karena rasa kasihan?

Tidak.

Kageyama hanya merasa dirinya tidak diizinkan tidur di kasur kecil itu. Dia takut jika nanti Hinata membuka matanya lelaki oranye itu akan kaget, dan marah padanya.

Jadi apakah Kageyama sebenarnya ingin berada disisi terdekat Hinata?

Entahlah.

"Hinata-san..."

Kageyama memanggil Hinata pelan. Rutinitasnya yang sudah biasa. Dia selalu melakukan itu. Biasanya sambil memegang tangan ringkih Hinata.

Hanya untuk memastikan dua hal.

Bahwa lelaki itu masih hangat.

Dan masih hidup.

Namun, kali ini, Kageyama hanya menatap Hinata.

Dengan tatap lembut. Beserta senyuman yang tak kalah lembut.

Matanya lelah.

Jujur, akhir-akhir ini Kageyama tak dapat tidur nyenyak. Dia tertidur kurang dari lima jam per hari.

Mungkin kali ini, perkataannya sedikit melantur.

"Apakah kau pernah menonton pertandingan bola voli?"

Sosok yang diajak berbicara masih diam. Dengan berbagai kabel yang tertancap di tubuhnya. Dan juga mata terpejam rapat.

"Kau tahu? rasanya itu seperti kau melupakan tempat berpijak. Sangat seru, dan jantungmu berdetak cepat."

Kageyama menatap wajah itu.

Dia juga sebenarnya merasa bahwa dirinya mungkin terlihat seperti orang yang kurang waras. Mengajak berbicara orang yang bahkan tak bisa menggerakkan kelingkingnya.

Satu helaan nafas, dan Kageyama kembali membuka mulutnya,

"Tapi jantungmu akan berubah, berdetak lebih cepat ketika menjadi pemain langsung."

Kageyama mendengus sebentar. Dia tertawa kecil. Membayangkan betapa dirinya sedang di lapangan luas.

"Dan saat pertama kali aku melihatmu hari itu.. rasanya seperti menonton pertandingan voli." Mata Kageyama terpejam.

Dia mulai membayangkan dirinya dilapangan itu bersama Hinata.

"Kau tahu? sebenarnya saat kau bilang akan mati di perpustakaan hari itu, pilihan terbaik adalah menjauhimu."

Kageyama membuka matanya, dia kembali menatap tubuh tak sadar Hinata.

"Kenapa saat itu aku malah berjanji?"

Kageyama berucap seakan tak percaya apa yang dulu dia lakukan. Dia bahkan berdecak.

"Kalaupun aku menjauh darimu sekarang... itu sangat tidak mungkin..." Kageyama tersenyum miris.

"Hinata-san kau adalah orang yang unik... kau begitu kecil, namun kau begitu kuat... kau membuatku kagum sejak aku melihatmu di perpustakaan hari itu... kau membuatku seperti diatas arena pertandingan voli..."

Kageyama menatap lelaki itu lagi. Entah apa yang terjadi, kenapa matanya memburam?

Kenapa dadanya terasa sangat sesak?

Kenapa suara menjadi serak?

"Hinata-san... bisakah aku memindahkan kupu-kupu ungu itu didalam diriku?"

Kageyama tak tahu apa yang terjadi, yang jelas matanya kini benar-benar memburam, tetesan demi tetesan air terjatuh dari pelupuk matanya.

"Ini bahkan belum cukup... aku ingin mengenalmu lebih lama... kenapa kau benar-benar begitu cepat akan pergi?"

Kageyama terisak.

Dia sudah menahan mati-matian perasaannya ini.

Sudah cukup egonya pergi.

"Hinata-san kumohon... aku ingin mengenalmu lebih jauh..." Kageyama meremas selimut Hinata. Dia benar-benar meluapkan segalanya hari ini.

Padahal, Kageyama tau Hinata tidak akan mendengar seluruh hal yang dia katakan.

Dia juga paham Hinata tak akan melihat perasaan yang ditunjukan Kageyama saat ini.

Betapa Kageyama ingin menarik tubuh lemah Hinata dari depan pintu kematian.

Betapa lelaki itu ingin bersamanya sedikit lebih lama.

"Aku baru mengenalmu... ini tidak adil..."

Kageyama mengusap air matanya, menahan agar tak keluar. Dia sudah dewasa kenapa susah sekali menghapus air mata itu?

Tapi tidak!

Kageyama tidak akan menangis!

Apalagi dihadapan Hinata?!

Dia mengusap air mata itu mati-matian.

Namun, satu tetes air mata yang tak dapat dia cegah turun membasahi tangan ringkih lelaki koma.

Dan entah tetesan ke berapa, lelaki yang hampir mati itu menggerakkan jarinya.

Dia menyentuh tangan Kageyama yang berada di pinggir selimutnya. Dengan jari-jarinya yang terpasang kabel.

Kageyama tentu terkejut. Matanya terbuka lebar. Ditatapnya wajah Hinata.

Dikelopak mata lelaki mungil itu, air mata tampak menetes.

Ini adalah akhir Januari.

Dan di malam bulan baru ini, dua tetes air mata dari kelopak yang berbeda telah menetes.

Kageyama tak memberitahu itu pada siapapun. Bahkan pada Dokter dan Akaashi sekalipun.

Kageyama menyadari, bahwa lelaki koma itu mendengar setiap perkataannya.

Bahwa tubuh lelaki ini mungkin koma, namun, hati nuraninya tidak.

Itulah yang Kageyama sadari.

Sebelum dirinya terlelap dalam tidur kala itu, Kageyama berkata,

"Aku ingin memberimu sekotak permen karet."

TeduhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang