Sebuah Impian Kecil

31.7K 4.3K 1.8K
                                    

Udara di hari itu sangat dingin. Menusuk kulit. Butiran-butiran salju yang turun ke bumi kala itu membuat beberapa orang hanya dapat menghabiskan waktu di rumah, memilih menghangatkan dirinya dibawah kotatsu sambil meminum cokelat panas.

Namun, dinginnya udara kala itu sama sekali tidak berpengaruh kepada dua orang yang berjalan menuju kuil. Tidak, hanya satu yang berjalan, karena seorang lainnya yang sakit berada dipunggung lelaki lain.

Nafas mereka berhembus bersamaan. Mengepul keluar dari bibir-bibir mereka.

Mereka berdua tahu, mereka berdua sadar bahwa udara sedang tidak bersahabat. Harusnya mereka merasakan dingin. Namun, baik Kageyama maupun Hinata tak merasa dingin.

Hinata sedikit merasa dingin ketika angin menusuk kulitnya. Namun ketika dia mengeratkan tangannya dileher itu, dinginnya hilang.

Lantai kayu kuil tua berderit ketika kaki Kageyama menginjak disana.

Kageyama dengan susah mengambil uang koin, dia harus menahan Hinata agar tak terjatuh.

Tanpa disuruh, tangan Hinata terjulur, menarik tali lonceng kuil dan membunyikannya.

Kageyama memejamkan mata, ikut berdoa bersama Hinata yang menyatukan tangannya.

Setelah selesai, Hinata meminta turun.

"Aku ingin beristirahat sejenak, aku bosan dengan bau obat, biarkan aku diluar lebih lama." Suaranya lirih. Kageyama menurut, mereka duduk beriringan di teras kuil.

Beberapa saat, hanya hening yang terasa. Baik Kageyama maupun Hinata sama-sama hanya memandang butiran salju yang turun.

"Ngomong-ngomong tadi kau berdoa apa?" Hinata buka suara. Dia masih menatap butiran salju dengan senyum lelah.

Kageyama mendengus. "Agar kau hidup lebih lama," jawabnya.

Hinata tersenyum. "Tidak berdoa agar aku sembuh?"

Kageyama mendengus lagi. "Itu sama saja meminta kebohongan pada Dewa."

Kemudian, Hinata tertawa renyah.

"Kau benar."

Helaan nafas terdengar dari lelaki oranye.

"Apakah hanya itu?"

Kageyama menggeleng.

"Aku juga berdoa agar segera lulus."

"Padahal kau sering membolos." Hinata mengejek. Kageyama berdecak.

"Aku membolos karena menemanimu Hinata-san."

Hinata kembali tertawa renyah. Kageyama menatapnya.

"Kau sendiri berdoa untuk apa?" tanyanya.

Hinata mengangkat bahu. "Sebuah impian kecil." pandangan Hinata menengadah. Tersenyum tipis seperti menghayalkan sesuatu.

"Apa itu?" tanya Kageyama penasaran.

Lelaki sakit tersenyum bertambah lebar. Menatap langit-langit kuil.

"Aku hanya ingin dilahirkan kembali, dan bermain voli dengan tubuh sehat sepuasnya, bersamamu."

Ditatapnya manusia yang selalu menemaninya dengan senyum lembut.

Kageyama terkagum. Menurutnya, impian Hinata begitu penuh arti dan juga keren.

"Kau ingin bereinkarnasi?"

Hinata mengangguk.

TeduhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang