Permen Karet

38.6K 4.3K 598
                                    

Oktober, Musim Gugur di Tokyo.

Kageyama menemani Hinata seperti biasa. Bahkan, tanpa surat, Hinata akan menunggu Kageyama di halte jikalau dia ada latihan voli.

Mereka berbincang kecil seperti biasa.

Namun perbincangan mereka selalu membuat hati keduanya hangat. Hinata waktu itu setuju jika Kageyama ingin menemaninya kontrol.

Jadi, pada bulan Oktober ini, Hinata menyuruh Kageyama menunggu di halte seperti biasa.

Dengan menggunakan jaket musim gugur biru, Kageyama duduk disana. Dia mendengarkan musik melalui henset.

Musik yang sering Hinata siulkan.

'A thousand years'

Kageyama sengaja memilih versi akustik dari lagu tersebut. Dia sudah duduk selama setidaknya sepuluh menit.

Hingga, sebuah bus datang. Seorang lelaki berjaket turun dari sana. Dia menaikkan kacamatanya.

Kageyama yang melihatnya tersenyum, dilepasnya henset dan menyapa Hinata.

Bus itu pergi setelah Hinata turun.

"Kau sedikit terlambat." Kageyama berkata. Sebenarnya dia tak masalah jika Hinata telat, berjam-jam dia menunggu tak masalah.

Hinata tertawa menggaruk tengkuknya.

"Aku memakai tabir surya dulu Kageyama," jawabnya.

Kageyama mendengus sambil tersenyum.

"Bukankah itu setelan musim dingin?" diliriknya pakaian Hinata. Ya, jaket yang digunakan Hinata memang tebal.

Dia bahkan memakai topi dengan sweater didalam jaketnya.

"Hei aku sakit kau lupa? aku tidak boleh terkena matahari terlalu lama, nanti kulitku akan muncul ruam, itu menganggu." Hinata cemberut.

"Padahal namamu Hinata." Mereka lalu berjalan beriringan.

Jarak rumah sakit memang tidak terlalu jauh.

"Aneh bukan? 'matahari' tapi tidak suka matahari." Hinata tertawa miris.

Sepanjang perjalanan, Hinata banyak bicara. Kageyama akan menanggapi sebisanya. Ketika melewati toko permen, Hinata terhenti.

Kageyama menatapnya.

Dia langsung tahu apa yang diinginkan lelaki mungil ini.

"Kau mau beli permen?"

Hinata terkaget.

"Aku... aku ingin permen karet!" matanya berbinar-binar menatap Kageyama.

Kageyama mengangguk, dia kemudian menuruti si lelaki mungil masuk kedalam toko.

Kageyama tidak suka makanan manis. Dia hanya melihat lelaki itu berjalan kesana-kemari melihat-lihat permen beragam jenis.

"Hinata-san?" Kageyama bingung ketika lelaki itu hilang dari pandangannya. Dengan panik dia mencari.

Dan ketika melihat lelaki itu duduk jongkok dengan kebingungan memilih dua rasa permen, Kageyama menghela lega.

Didekatinya sang senior pendek tersebut.

"Kenapa?" tanyanya.

Hinata yang tidak menyadari kehadiran Kageyama terkaget.

"Um... ini aku bingung mau beli rasa jeruk atau bluberi." Hinata menunjukan dua wadah batangan permen karet.

Kageyama mengerutkan keningnya.

"Tinggal beli dua-duanya saja."

"Tidak mau!" Hinata merengut.

Kageyama menghela, diambilnya bungkus permen karet rasa bluberi. "Kalau begitu aku ambil rasa bluberi, kau ambil rasa jeruk, kita bisa berbagi nanti."

Hinata terdiam. Kemudian dia mengangguk-angguk setuju.

"Yosha! kalau begitu ayo kita bayar!" katanya dengan semangat. Kageyama tersenyum tipis. Dia mengikuti lelaki itu.

Kini, mereka berjalan menuju tujuan awal mereka.

Rumah sakit.

"Kau benar-benar mengantarku ya?" Hinata menatap Kageyama setelah mereka memasuki gedung putih berbau obat itu.

"Hm, tentu saja." Kageyama langsung menjawab.

Mereka duduk di ruang tunggu. Ketika nomor Hinata dipanggil, dia bangkit.

"Kageyama, jaga ini." Hinata menyerahkan permen karet tadi. Kageyama menatap bingung.

"Hah?"

"Sudah jaga saja!" kemudian lelaki itu pergi, masuk kedalam sebuah ruangan khusus.

Selama menunggu, Kageyama hanya duduk saja. Dia juga mengunyah permen karet bluberi yang dia beli beberapa saat lalu.

Sesekali dia mengetuk-ketuk lantai dengan kakinya.

Setelah hampir setengah jam menunggu, Hinata akhirnya keluar dari sana.

Kageyama lega.

Dia akhirnya melihat Hinata kembali.

"Maaf lama ya." Hinata tertawa. Kageyama hanya mengangguk. Dia mengembalikan permen karet jeruk pada Hinata. Hinata mengucap terimakasih, dia membuka bungkus itu dan memakannya dengan ceria.

Mereka kemudian keluar dari sana.

Hinata bersiul lagu 'A thousand years' seperti biasa. Selama perjalanan pulang, mereka hanya diam. Suara siulan Hinata membuat suasana tidak hening.

"Bagaimana pemeriksaannya?" tanya Kageyama kemudian.

Hinata berhenti bersiul.

"Tidak apa-apa, tidak parah, ginjalku baik-baik saja, ruamku tidak timbul, darahku juga tidak membeku, jantungku baik-baik saja." Hinata menjelaskan dengan detail. Kageyama mengangguk mengerti.

"Jadi? bisakah kau memberiku tos?" Hinata melompat ke depan, dia menatap Kageyama.

"Apakah harus sekarang? lebih baik besok saja bukan?" Kageyama heran. Pengidap Lupus harusnya tidak banyak melakukan aktivitas.

Apalagi dia baru saja di periksa.

"Aku inginnya sekarang." Hinata cemberut lagi.

Kageyama menghela. "Aku minta maaf saja, kau nanti pingsan aku malas menggendongmu."

"Heee jahat sekali kau Bakageyama!" Kageyama tetap berjalan, mengabaikan Hinata yang mengoceh.

"Kageyama! ayo berikan aku tos!" Hinata masih berteriak.

Kageyama menghela.

"Satu kali, dan kita akan segera pulang."

Dan kemudian, Hinata tak dapat menahan rasa bahagianya.

"YOSHA!!!"































Akhirnya Kageyama mau beri Hinata tos juga🤧

TeduhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang