Teduh

34.5K 3.9K 985
                                    

Sebelum pergi, Kageyama sudah memastikan berkali-kali bahwa lelaki hujannya masih bernafas. Masih hangat. Tidak dingin dan tidak pucat.

Dia juga sudah memastikan tidak ada kekurangan disana. Bahwa infus yang tergantung di besi tinggi itu telah diganti, penuh. Alat pengukur jantung yang terus berbunyi pendek menandakan lelaki itu masih hidup.

Namun,

Lelaki dengan surai gelap itu merasa ada yang tidak beres.

Dia yakin ada yang tidak beres.

Tapi, dirinya sendiri tidak tahu apa.

Setelah kelasnya usai hari itu,  Kageyama berlari mendekati sebuah toko, membeli permen karet. Hal yang  dia rencanakan kemarin malam dengan lelaki hujan.

Bayangkan saja jika Hinata bangun hari ini dan melihat permen karet kesukaannya ada didekatnya.

Bukankah itu manis?

Dengan senyum, Kageyama memasukan permen karet itu kedalam tasnya.

Langit mulai meneduh. Kageyama menatap keatas.

Dia ingat ramalan cuaca hari ini adalah hujan.

Meski tahu begitu, Kageyama menolak membawa payung. Alasannya sebenarnya simpel.

Setelah rintikan mulai terasa, Kageyama berlari. Rintikan itu bertambah seiring langkah Kageyama menggema.

Langkah-langkah lari yang panjang, kaki itu jelas menuju kemana.

Kearah halte. Karena dia ingin segera pergi ke rumah sakit. Menemui Hinata, memberikan lelaki itu permen karet.

Kesukaan sang lelaki oranye.

Hari itu hujan begitu lebat.

Tak ada orang lain yang meneduh di halte itu kecuali dirinya.

Kageyama menggulung lengan bajunya yang basah, mengusap rambutnya dan menunggu bis datang menghampirinya.

.
.
.

Ada yang tidak beres. Lagi-lagi itulah yang Kageyama rasakan ketika dirinya sampai di rumah sakit kala itu.

Lampunya lebih terang. Mungkin karena faktor cuaca yang membuat rumah sakit itu menyalakan semua lampunya.

Kageyama menggenggam tasnya. Dimana disana ada sekotak permen karet untuk sang lelaki sakit.

Dia tak berjalan terburu, terkesan lambat.

Pandangannya kesana kemari. Menatap berbagai perawat, pasien, dan dokter yang bertugas.

Kageyama masih memeluk tasnya erat.

Dia berdoa agar permen karet itu tak apa didalam tasnya.

Hingga, sampailah dia disana. Di kamar inap Hinata.

Dimana Kageyama akhirnya menghela lega ketika mengetahui lelaki oranye itu masih disana.

Dan masih bernafas.

Dia menarik kursi mencari sekotak permen karet yang baru dia beli.

"Hey, aku membawa permen karet."

Kageyama menyentuh kotak permen karet itu dengan kedua tangannya.

Yang kemudian menaruh kotak itu di meja kecil. Tepat disamping kacamata yang berdebu.

"Bukankah cuacanya begitu teduh?" Kageyama kemudian bangkit lagi. Dia membuka gorden. Hingga suara hujan makin terdengar jelas.

Karena Kageyama pikir Hinata suka suara ini.

Dia kemudian menatap wajah Hinata. Hari ini wajah lelaki itu lebih teduh dari biasanya.

Kageyama mendekat, dia mengusap anak rambut yang menghalangi kening lelaki oranye.

"Kita bertemu ketika hujan, di musim ini," ucapnya lembut. Kemudian tangan-tangan itu terangkat dari kening lelaki hujan.

Kageyama kembali duduk.

Dia menggenggam tangan itu sambil tersenyum.

Petir menggema untuk pertama kali di musim ini. Suaranya nyaring. Kageyama bangkit. Dia menutup gordeng. Tau bahwa Hinata tak mungkin menyukai suara nyaring petir.

Kilat telah berhenti, namun masih ada suara nyaring disana.

Suara nyaring dari alat pengukur jantung yang tersambung dengan urat-urat Hinata.

Suara yang berarti bahwa lelaki itu tak baik-baik saja.

Sangat tak baik-baik saja.

Kageyama tersenyum, namun juga menangis disaat yang bersamaan. Dia mendekat, lututnya lemas, di genggamnya tangan itu.

Tangan yang semakin mendingin per detiknya.

Dan suara alat itu masih nyaring.

Kageyama hanya duduk disana. Dia tak memanggil dokter.

Karena dia takut mendengar perkataan yang mengecewakan dari mulut sang dokter itu.

Dia sudah tau, tanpa bantuan dokter dia sudah tau bahwa Hinata telah mati.

Dia telah terbang bersama kupu-kupu ungunya.

Kageyama menangis tanpa suara.

Dia seharusnya menyiapkan mental untuk ini.

Sejak awal dia tahu, bahwa akhirnya adalah ini.

"Aku... menepati janjiku... bukan?"

Kageyama terisak. Dia terisak di tangan mayat itu.

Menangis sejadi-jadinya.

Di satu sisi, Kageyama berhasil menepati janjinya.

Dan disisi lain, Kageyama kehilangan Hinata.

















2 chap lagi menuju end...

TeduhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang