Takut

28.9K 3.8K 1.1K
                                    

"Hinata-san, aku tak pernah bertanya ini sebelumnya, tetapi kenapa kau menetap di rumah sakit ini?"

Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulut Kageyama. Dia akhirnya punya keberanian untuk bertanya.

Setelah berbulan-bulan, hingga di awal Februari dia baru berani bertanya.

Hinata menutup bukunya. Dia menaikkan kacamatanya, kemudian tersenyum padanya.

"Bisa kau tebak?"

Kageyama terdiam. Dia benci jika menebak ini. Dia tak suka ini. Namun, dia akhirnya berfikir. "Karena ginjalmu?"

Hinata menggeleng. "Itu dulu sekali, ginjalku sudah di transplantasi." Hinata menaikkan baju rumah sakitnya, memperlihatkan sebuah jahitan di bagian perutnya.

"Aku dan ginjalku baik-baik saja saat ini, meski harus cuci darah terus." Kageyama sedikit terkejut melihat bekas jahitan itu. Hinata kembali menutup bajunya.

"Aku dibawa kemari karena peradangan darah dan juga anemia."

Kageyama mengangguk mengerti. Sebenarnya dia sudah tahu dari Kenma.

"Kau mungkin bisa menghabiskan masa-masa terakhirmu di rumah bukan? menyewa dokter pribadi misalnya."

Hinata kemudian menunduk, dia menatap kakinya.

"Dokter pribadi itu mahal."

Hinata menghela.

"Jaringan tulangku mati. Aku tidak bisa berjalan, sedangkan aku tinggal sendirian, orang tuaku pergi mencari uang untuk biaya pengobatanku. Jadi lebih baik aku dirawat disini."

Hinata tersenyum miris.

Kageyama menyentuh tangan Hinata. Lelaki itu terkaget karenanya.

"Jadi kau disini karena sendiri?"

Hinata menggeleng.

"Selain itu, penyakitku ini sudah diujung tanduk, tidak bisa dirawat sendiri lagi, aku bisa mati kapan saja." Hinata menarik tangannya.

"Tapi kau sendiri bukan?" tanya Kageyama, dia berusaha menatap mata itu. Namun, Hinata menghindarinya.

"Ya.. aku memang sendiri."

Kageyama tersenyum tipis. Dia kembali menarik tangan Hinata. Tidak, bukan menarik, menyentuhnya dengan lembut.

"Bukannya sekarang kau tak sendiri?" Kageyama berujar tegas.

Hinata tersenyum, dia menatap bahagia Kageyama.

"Ya, ada kau!"

"Benar."

Hinata kemudian melirik bungkus permen karet jeruk yang belum terbuka. Dia mengambilnya, membuka bungkusnya dan memakannya.

"Terimakasih selalu membawa permen karet ketika datang kemari, kau begitu tau kesukaan seniormu ini ya." Hinata tersenyum, dia mengemut permen karet di mulutnya.

Kageyama mendengus. "Aku sudah menemanimu berbulan-bulan, jadi aku tahu kau begitu suka permen karet itu."

Kageyama mengeratkan syal biru dilehernya.

"Dan juga balas budi karena sudah memberiku kado ulang tahun."

Hinata tersenyum. Dia menggeser posisi di ranjangnya.

"Maukah kau duduk disini bersamaku?" lelaki mungil itu menatap Kageyama.

Kageyama tak berekspresi apa-apa, namun dia duduk di ranjang itu. Bahu mereka menempel. Dekat. Karena memang dari awal ranjang itu sempit. Kageyama membuka syal pemberian Hinata. Merasa sesak.

Hinata menyenderkan kepalanya di bahu itu. Dia memejamkan matanya dengan senyum tersungging di bibir pucat yang mengulum permen karet.

Kageyama hanya terdiam. Dia membiarkan kepala bersurai oranye itu singgah di bahunya.

"Jujur saja, seluruh tubuhku sakit."

Kageyama terdiam. Dia tidak tahu kata apa yang mesti dia ucapkan. Dia payah dalam merangkai kata-kata penyemangat atau motivasi hidup.

Satu-satunya yang dia dapat katakan adalah,

"Aku tahu."

Ya, setidaknya dia tahu tentang rasa sakit Hinata. Pada tubuhnya, pada hatinya.

Dia saat ini tak tahu apa ekspresi lelaki itu. Namun helaan nafasnya masih teratur.

Mulut pucat Hinata kembali terbuka.

"Tobio... sebenarnya, aku takut mati."

Tetesan infus berjalan seiring waktu. Kepala bersurai oranye masih singgah disana. Kageyama mengangkat kepalanya, membuat dagunya berada diatas surai cerah.

Tangan Kageyama memegang bahu kurus itu.

"Tapi kau akan mati... Shoyo."

Hinata tertawa miris disana.

"Kenapa kau mempertegasnya? tidak mau memberiku kata-kata motivasi?"

Kageyama mendengus.

"Itu percuma, kau sendiri sudah sadar akan segera mati."

Hinata kembali tertawa miris.

"Tapi aku benar-benar takut mati." suara Hinata memelan. Mulut Kageyama kembali membuka, mengucapkan hal-hal realistis seperti biasa.

"Takut akan kematian adalah hal yang wajar bagi manusia."

Diposisi seperti itu, Kageyama dapat mencium aroma sejati Hinata dari surai cerahnya.

Lelaki itu berbulan-bulan di rumah sakit.

Harusnya aroma Hinata seperti obat-obatan.

Namun, aromanya berbeda.

Hinata berbau seperti matahari.

"Kenapa aku harus terlahir dengan penyakit ini? penyakit yang membunuhku secara perlahan?"

Kageyama memejamkan matanya. Ini pertanyaan yang sulit.

Dan menurut pemikiran Kageyama, hanya ada satu yang pantas menjadi jawaban.

"Karena Dewa tahu kau kuat."

Hinata terdiam.

"Sayangnya aku lemah. Sepertinya, Dewa salah memilih orang," katanya kemudian.

"Jangan salahkan Dewa."

"Lalu aku menyalahkan siapa? diriku sendiri?" Hinata mengepalkan tangannya. Kageyama menggeleng disana.

"Takdir. Salahkan takdir."

Kepalan ditangan Hinata terbuka.

"Aku membenci takdirku," suara Hinata pelan. Begitu pelan dengan kekecewaan yang besar.

"Aku tahu."

TeduhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang