Wajah

28.4K 3.7K 989
                                    

Sama-sama terlelap dalam indahnya musik.

Tangan mereka saling menggenggam. Mata mereka terpejam.

Mereka tak ingin lagu itu cepat berakhir.

Namun, lagu itu akhirnya berakhir.

Meski begitu, tangan mereka masih menggenggam.

"Aku ingin melihat sakura kau tahu?" Hinata membuka suara.

"Kau ingin aku membawamu kabur dari sini?" Kageyama tersenyum getir.

Hinata tertawa.

"Tidak tentu saja, aku tak senekat itu."

Kageyama mendengus.

"Sebentar lagi musim panas... ruamku pasti akan terlihat lagi." Hinata menghela.

Dia menatap langit-langit rumah sakit.

Kageyama menatapnya.

"Memangnya kenapa kalau ruam itu ada?"

Hinata berdecak.

"Tentu saja mengganggu penampilan!" ditatapnya Kageyama kesal.

"Ketika pertama kali aku kesini juga kau memiliki ruam bukan?" tanya Kageyama. Hinata menatap ke arah lain.

"Iya, dan aku malu karena itu." dia mengerucutkan bibirnya.

Kageyama terdiam. Cukup lama hingga lelaki itu kembali membuka mulutnya.

"Aku minta maaf."

Mendengar beberapa kata yang membuatnya bingung, Hinata kembali berbalik, menatap si lelaki suram.

"Hah? untuk apa?"

Kageyama menggaruk tengkuknya.

"Saat itu... aku mengatakan yang tak seharusnya..." wajahnya tampak memerah lagi.

Hinata mengerutkan keningnya bingung.

"Kapan?"

"Waktu aku pertama kali kesini, kau memiliki ruam dan aku malah berkata wajahmu tetap sama meski ada ruam itu..." Kageyama berusaha menyembunyikan wajahnya. Dia tak menatap Hinata. Menggaruk tengkuknya dan bola matanya bergerak-gerak seakan menghindari tatapan Hinata.

Waktu pertama kali Kageyama kesini.

Ah, Hinata ingat.

Pipinya memanas. Dia langsung mengibaskan tangannya sambil tersenyum canggung.

"Kau... tidak salah."

Kageyama menggeleng.

"Tidak! itu salah! harusnya aku tidak berkata seperti itu..." Kageyama terlihat seperti orang yang frustasi. Dia ingin mengatakan sesuatu. Sungguh. Tapi, dia malu. Ah, kenapa lelaki dihadapannya ini tak mengerti.

Tunggu, kenapa dia justru menyalahkan Hinata?

"Lalu harusnya kau berkata apa?" Hinata berusaha menatap lelaki itu. Yah.. meski wajahnya juga berwarna merah.

Kageyama tampak gelisah. Dia masih mencari kata-kata yang tepat didalam isi kepalanya.

Dia memegang daun telinganya. Oh, siapapun pasti bisa melihat wajahnya yang semerah tomat saat ini.

Hey, Kageyama begitu malu saat ini.

Dan Hinata menunggu lelaki itu berucap dengan sabar. Perutnya juga seakan diterbangi jutaan kupu-kupu.

Tapi, dia harus bisa menjaga sikapnya. Dia tak boleh terlihat gugup. Meskipun senyumannya saat ini terlihat sangat canggung.

Kageyama menelan ludah. Dia kemudian menatap Hinata dengan mantap.

"Aku harusnya berkata kau tetap... cantik."

Hinata terdiam.

Tidak, apa namanya? seluruh tubuhnya seakan kaku. Dia berusaha mencerna kata yang baru saja terucap dari lelaki yang notabennya lebih muda darinya.

Kageyama menyadari hal memalukan yang baru dia katakan.

Oh, kenapa dia berucap begitu saja?

Hinata itu lelaki.

Kenapa dia berkata wajah seniornya tetap cantik?

Ayolah, dia harus menemukan kata yang lebih tepat.

"Tidak... tapi imut... ah bilangnya bagaimana?" Kageyama semakin salah tingkah. Ah, sudahlah. Tak ada gunanya. Dia bingung. Dan kenapa wajahnya serasa panas.

Lupakan panas di wajahnya. Saking malunya, bahkan Kageyama tak dapat menatap wajah lelaki mungil dihadapannya. Tak sanggup rasanya.

Hinata tak dapat menahan tawanya. Ekspresi Kageyama begitu lucu dimatanya. Tapi, fakta bahwa dia senang diberi pujian sehingga tawa bahagianya pecah juga benar.

"Jadi yang benar mana? cantik atau imut?" tanya Hinata. Dia masih merasa geli di perutnya.

Kageyama memalingkan wajah. Bibirnya mengerucut.

Kenapa lelaki ini bertanya lagi! apakah dia tidak sadar bahwa dirinya sedang malu setengah mati?

Tapi, mulut Kageyama kembali terbuka. Dan ya, kebetulan dia sudah menemukan kata yang tepat yang pantas diberikan kepada lelaki ini.

"Kau tetap sempurna."

Begitulah kata Kageyama. Dia tersenyum tipis. Dia tidak menatap Hinata. Namun,

Hinata terdiam. Tawanya terhenti. Benar-benar terhenti.

Diatatapnya Kageyama dengan mata terbuka lebar.

"Dengan atau tanpa ruam itu kau tetap sempurna."

Setelah itu, barulah Kageyama menatap mata Hinata. Dengan tatapan tajam serius, tatapan sejati Kageyama.

Dan Hinata balas menatap kedalam bola mata sebiru lautan itu.

Hinata kehilangan kata-kata. Dia ingin berucap. Setidaknya terimakasih, namun, tak dapat. Lidahnya kelu, seakan tersangkut di tenggorokan.

Beberapa saat saling menatap, Kageyama memalingkan wajahnya lagi.

"Kupikir itu yang tepat," katanya. Dia tampak malu-malu lagi. Volume perkataannya juga memelan dengan sedikit nada gugup.

Hinata tersenyum lembut. Tanpa pikir panjang dia langsung memeluk lelaki itu.

"Aku... bahagia," ucapnya.

Hinata mengeratkan pelukannya. Memejamkan mata. Menghirup aroma lelaki itu dalam.

"Aku sungguh-sungguh bersyukur bertemu denganmu."

Benar-benar, Hinata tak mau melepaskan lelaki itu.

Kageyama menghela, namun dia tak berwajah sinis seperti dulu, dia tersenyum.

"Aku juga."

Kageyama sebenarnya ingin berlama-lama disana.

Namun, ponselnya bergetar.

Ada panggilan masuk dari kakaknya.

Dia tahu harus segera pulang.

Namun lelaki itu masih memeluknya erat.

"Hinata-san..."

"Hm?"

"Aku harus pulang dulu."

Hinata bergeming.

"Sebentar lagi."

Katanya.

Kageyama terdiam. Dia membiarkan lelaki kurus berkulit pucat itu memeluknya lebih lama.

"Terserah padamu."

TeduhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang