Bagian 6

14.2K 1.9K 184
                                    

Halu adalah salah satu cara paling ampuh untuk melupakan pahitnya kenyataan

Daniel meninju samsak tanpa henti walau peluh sudah bercucuran di dahinya serta tangannya yang mulai memerah akibat ia memukul tanpa menggunakan kaos tangan. Darah mulai mengalir dari tangannya namun, Daniel tak menghiraukan itu semua. Rasa sakit yang ada di tangannya, itu tidak sebanding dengan rasa sakit hatinya akibat telah membentak gadis yang ia cintai.

Daniel memutuskan untuk berhenti meninju samsak itu. Ia menjatuhkan tubuhya ke atas matras, memejamkan mata, menikmati rasa sakit yang semakin membuta.

"Maafin gue, Bel." Daniel berucap lirih. Ia sangat menyesali perbuatannya yang selalu membentak, bahkan mnyakiti batin sekaligus fisik Belvina.

Jika saja waktu bisa di ulang, Daniel tidak ingin mengenal Belvina. Daniel tidak ingin memiliki perasaan kepada Belvina. Andai saja, ia lebih dulu mengetahui fakta, sebelum perasaan ini ada, mungkin di antara keduanya tidak ada yang tersakiti.

Disisi lain, Daniel sangat ingin selalu berada di dekat Belvina. Ia ingin selalu mendapat perhatian dari gadis itu. Sebuah ucapan selamat pagi, malam, dan sebagainya. Hatinya terasa bahagia, seakan hanya dia yang ada di dunia ini. Namun, jika ia mengingat takdir, semua rasa bahagia, dan harapan hidup bersama, musnah seketika.

Daniel kembali mengganti pakaiannya menjadi seragam sekolah. Ia memutuskan untuk kembali ke kelas. Sekaligus memastikan apakah bekal dari Belvina masih ada di dalam lacinya. Namun sebelum kesana, ia mengobati tangannya terlebih dahulu.

****

"Itu Daniel," ujar Troy saat ia melihat Daniel masuk ke dalam kelas.

Sedari tadi, Shaaren sudah menunggu Daniel di dalam kelas cowok itu. Memang kebiasaan gadis itu, setiap ada freeclas atau jam istrahat, ia akan datang ke sini untuk mengajak Daniel ke kantin bersama.

"Daniel kamu kemana aja sih?" tanya Shaaren kesal. Matanya membelalak saat ia melihat kedua tangan Danie. "Ya ampun! Tangan kamu kenapa?" tanya Shaaren panik. Shaaren, ia mengangkat kedua tangan Daniel dan mengusapnya lembut.

Dengan cepat Daniel menarik tangannya, membuat Shaaren menggerutu kesal. "Gapapa," jawab Daniel. Ia memerogoh laci mejanya. Dahinya berkerut saat ia tidak memdapati apa-apa du dalam lacinya.

"Bekal dalam laci gue mana?" Daniel menatap Shaaren, Aldo, dan Troy secara bergantian.

"Udah aku buang. Itu bekal dari Belvina kan? Makanya aku buang," ujar Shaaren enteng.

Kedua tangan Daniel mengepal, serta rahangnnya mengeras. Jika saja Troy atau Aldo yang membuang bekal itu, sudah pasti Daniel menghabisinya sekarang. Namun karena Shaaren maka Daniel mengurungkan niatnya.

Bel istrahat berbunyi. Shaaren langsung saja menggenggam tangan Daniel. Mereka menuju ke kantin.

****

"Gue aja yang mesan. Kalian mau pesan apa?" tanya Belvina kepada kedua temannya.

Saat ini Belvina, Echa, dan Vio sudah ada di kantin.

"Yang kayak biasa aja, Bel." Echa menjawab sambil memainkan ponselnya, dan Vio hanya mengangguk singkat.

Setelah mendapat jawaban dari kedua temannya, Belvina pun pergi dari sana. Tepat saat ia berbalik badan, tatapan matanya tak sengaja bertubrukan dengan tatapan milik Daniel yang berdiri di pintu kantin. Tentu, dengan Shaaren yang ada disampingnya.

Cukup, itu saja sudah membuat hati Belvina sakit. Gertakan dan perlakuan Daniel tadi pagi masih membekas di hatinya. Ia tak ingin merasakan itu lagi. Ia lebih dulu memutuskan kontak mata tersebut lalu kembali berjalan. Ia semakin harus menahan hasratnya untuk tidak menyapa Daniel saat mereka berpaspasan. Belvina tetap bersikap acuh.

BEDA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang