Bagian 28

8.2K 1.3K 136
                                    


Langkah kaki itu membawa Belvina ke taman dekat rumahnya. Di kepalan tangannya, terdapat sebuah foto dirinya dan keluarganya. Keadaan gadis itu sangat kacau. Mulai dari rambut acak-acakan, mata bengkak, serta lengan yang penuh dengan luka sayatan. Banyak yang mengejeknya orang gila tapi tidak ia pedulikan.

Langkah kaki itu berhenti di sebuah depan danau. Bokongnnya ia daratkan di belakang pohon beringin. Kakinya ia tekuk serta netranya yang terus menatap sebuah foto yang selalu ia bawa.

"Kalian ... udah bahagia ya?" Gadis itu tertawa kecil. "Iya. Kalian bahagia tanpa aku." Rasa sesak kembali hadir. Siapapun, tolong bawa dia pergi ke tempat dimana ia bisa bertemu dengan keluarganya.

"Harusnya gue juga mati. Semuanya udah gak harapin kehadiran gue. Termasuk, orang yang kuanggap spesial, dan gue perjuangkan selama ini. Kenapa? Kenapa gue terus dibiarkan untuk hidup?"

Ia tertawa kecil. Tawa yang seakan mengejek dirinya sendiri. "Mungkin, Tuhan mau gue rasain kejamnya penduduk bumi kali ya?"

"Tapi gue udah rasain itu semua. Semua orang udah anggap gue perempuan paling hina. Itu aja gue udah gak sanggup. Sakit banget pas mereka ngomong kata-kata kasar di depan mata gue. Mana teriak-teriak lagi. Gue coba buat gak dengerin itu semua tapi gue gak budeg! Pasti semuanya bakal kedengaran dan singgah di otak kemudian turun ke hati!"

Air mata kembali membasahi pipinya. Tangannya terangkat untuk menyeka air mata itu tetapi percuma. Air itu terus turun, seolah tidak akan ada habisnya. Rasanya sesak apabila mengingat kata-kata mereka. Apalagi mereka teriak-teriak depan mata kepala. Kejam gak? Kejam gak? Kejam lah! Banget malah!

"Udah gak ada lagi yang sayang sama gue. Sahabat gue juga udah berubah jadi musuh sekarang. Kecewa sih, iya. Tapi mau gimana lagi, udah takdir." Belvina kembali menatap foto yang ia bawa lalu, mengalihkan pandangan ke arah danau. Pikiran gila mulai merasuki otaknya. Kedua sudut bibirnya terangkat, rencana gila mulai tersusun dalam otaknya.

"Kalau Tuhan gak mau jemput gue, biar gue yang nyerahin diri ke Tuhan. Sebagai manusia kan emang harus berserah diri kepada Tuhan," ujar Belvina lalu terkekeh pelan.

Ia berdiri. Melangkah maju ke arah danau. Dirinya benar-benar sudah lelah dengan penderitaan ini. Ia akan pergi ke tempat dimana ia bisa menemukan ketenangan, untuk selamanya. Matanya terpejam. Membayangkan wajah-wajah orang, yang pernah menjadi spesial dalam hatinya. Akankah mereka menangis jika melihat kondisi Belvina yang mengambang di atas perairan tanpa nyawa? Atau justru tertawa keras dan bersyukur karena dirinya sudah pergi?

Dalam otak gadis itu, opsi kedua adalah jawaban paling tepat.

"Buat mama, papa, dan Kak Bela, tunggu aku ya. Aku bakal susul kalian."

"Buat Daniel, gue kecewa sama lo. Tapi, rasa sayang gue lebih besar. Sekarang, ijinin gue pergi ya. Gue mau balik ke Tuhan gue. Bahagia terus, Daniel."

"Echa dan Vio. Makasih karena udah kasih gue kenangan yang manis diawal dan pahit diakhir. Bakal gue inget sampe Surga."

"Dan untuk Shaaren, gue maafin lo, sebelum lo minta maaf."

"Dunia. Makasih karena udah buat aku dewasa sebelum waktunya."

****

Setelah melihat video sialan itu, Daniel langsung mencari Shaaren dan menyeretnya ke atas rooftop. Rasa marah dan kecewa menyatu dalam dirinya. Barus saja, tadi malam ia ingin memaafkan dan membuka hati untuk gadis itu, tetapi kenyataan kembali membuat ia mengurungkan niatnya. Daniel menghempaskan tubuh Shaaren ke tanah membuat cewek itu meringis kesakitan.

Daniel berjongkok, menyamakan tingginya dengan Shaaren. Tangannya mencengkram erat gadis itu. Tatapan matanya begitu tajam.

"Jadi, lo dalangnnya?" desis Daniel tepat di depan wajah Shaaren.

BEDA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang