Epilog

13.7K 1.3K 168
                                    

Ikhlas ya ...
Karena kini, aku benar-benar telah tiada.

Awan hitam kini menghiasi langit di atas sana. Mereka seolah turut berduka karena salah satu penghuni dunianya kini telah tiada. Beberapa tamu, mulai dari kerabat sampai teman-teman sekolah Belvina kini berkumpul di dalam kediaman Belvina.

Dinding rumah kini telah disandari oleh punggung-punggung rapuh, yang berusaha tegar walaupun hatinya hancur. Semuanya mengeluarkan air mata. Tangisan pilu terdengar di seluruh penjuru ruangan.

Daniel menatap sekeliling dengan tatapan kosong. Tatapannya berhenti pada tubuh seorang gadis yang sudah terbujur kaku. Hatinya kembali terasa sakit. Matanya terpejam kala ia harus dipaksa merelakan untuk kesekian kalinya. Kenapa orang yang ia sayang, selalu pergi dengan cepat?

Kematian Mamanya Bela kembali terngiang di kepalanya. Saat Mamanya yang meninggal, ada Bela yang selalu menguatkannya. Bela selalu di sisinya. Namun tak lama, Bela juga ikut meninggalkannya. Daniel merasa rapuh saat itu.

Rasa rapuh itu perlahan hilang ketika Belvina muncul dalam kehidupannya. Sosok pengganti Bela dalam hatinya. Ia kembali memiliki semangat hidup. Hatinya terasa tenang, dan perlahan kembali merasakan apa itu bahagia. Akan tetapi, kebahagiaan itu hanya sementara. Kenyataan masih tidak menginginkan ia bahagia. Dia dan Belvina beda agama, dan kini sudah beda alam.

Ia terus menatap sendu jenazah Belvina. Di samping gadis itu, terdapat Vio yang masih terus menangis dan menyuruh Belvina untuk kembali membuka mata. Daniel menghela napas, ia harus ikhlas. Sesusah apapun itu, ia harus berusaha tegar.

Vio terpekur melihat keadaan Belvina sekarang. Gadis itu tidak henti-hentinya terus mengeluarkan air mata. Tubuhnya melemas seperti tidak bernyawa. Ia menatap sendu tubuh Belvina yang sudah tidak bernyawa. Tangannya menyentuh permukaan kulit Belvina. Kulit pucat yang terasa dingin dan kaku.

Vio tersenyum miris. Ia mendekatkan wajahnya dihadapan Belvina. Dua tetes air matanya mengenai pipi mayat yang ada dihadapannya sekarang.

"Kenapa secepat ini ..." Vio berbisik lirih. Ia kembali terisak saat menatap mata tertutup itu. Wajah Belvina begitu tenang.

"Gue enggak sanggup Bel. Kenapa lo tega ninggalin gue?" Gadis itu menyatukan keningnnya dengan kening Belvina. Dalam lubuk hatinya, ia masih menaruh harapan besar agar Belvina kembali membuka mata.

Masa-masa saat mereka bersama kembali terngiang. Suara tawa Belvina memenuhi indra pendengarannya. Suara tangis dan teriakan dari gadis itu terus berdengung di gendang telinga Vio. Sekarang, ia sudah tidak akan mendengar itu semua lagi. Pemilik suara indah itu telah kembali kepada sang Maha Kuasa. Ekspresi ceria dan sedih Belvina sudah tidak bisa Vio lihat lagi. Semuanya sisa kenangan. Kenangan yang pasti akan susah untuk ia lupakan.

Usapan lembut membuat Vio sadar dari kesedihannya. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Siti yang berusaha menguatkan dirinya. Vio kembali menatap Belvina.

"Lo lupa sama janji-janji kita dulu? Dulu lo pernah bilang enggak bakal ninggalin gue. Kita janji bakal sekolah bareng-bareng terus sampai lulus. Kita kuliah sama-sama terus kerja sama-sama. Tapi kenapa sekarang lo ninggalin gue Bel! Kenapa lo ingkarin janji lo sama gue!" Vio tiba-tiba berteriak. Membuat Siti refleks memeluk gadis itu.

"Dia jahat sama gue Sit! Dia bohongin gue, dia ingkarin semua janji-janji yang pernah dia bilang ke gue! Belvina jahat, Siti. Gue benci sama dia ..." ujar Vio dalam dekapan siti.

BEDA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang