Bagian 24

7.5K 1.3K 31
                                    

Kaki berbalut sepatu berwarna putih tersebut menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Perasaanya benar-benar hancur. Tubuhnya terasa mati. Ia tidak menyangka, hal sebesar ini mampu dirahasiakan oleh semua orang di SMA Andelson selama tiga tahun darinya.

Belvina terus berlari dengan derai air mata. Sangat berat rasanya untuk menerima kenyataan ini. Belum lagi, fitnahan yang menyebar luas di sekolah, membuat ia menjadi pusat perhatian di sepanjang koridor sekolah.

Akan tetapi, Belvina tidak memedulikan itu semua. Ia terus berlari agar bisa sampai ke kelasnya dengan cepat. Ia butuh pelukan, ia butuh semangat. Semoga saja, Echa dan Vio tidak mempercayai tentang selembaran itu.

Dugaannya salah. Tepat saat ia berdiri di ambang pintu kelasnya, suara yang sangat familiar kini terdengar nyaring di kedua telinganya.

"Ada cewek murahan, gyus!" Teriakan siswi itu mampu membuat seluruh atensi penghuni kelas, terarah pada Belvina.

Belvina memandang cewek itu dengan sorot kecewa. Ia menggelengkan kepalanya. "Gue enggak murahan," lirihnya pelan.

Echa tertawa keras. Ia maju, meneliti penampilan Belvina dari atas sampai bawah lalu, terkekeh sinis.

"Mana ada maling ngaku!" cemooh Echa lalu tertawa keras, diikuti oleh siswa lainnya.

"Lo, lo percaya sama kabar itu, Cha?" tanya Belvina sekali lagi. Ia kembali menggeleng saat Echa mengangguk mantap. Air mata kembali membasahi pipinya.

"Gue enggak kayak gitu! Itu semua jebakan!" pekik Belvina keras. Ia beralih, menatap ke arah Vio. "Lo enggak percaya kan, Vio? Lo lebih percaya sama gue, 'kan?"

Vio merasa sakit saat tatapan sedih Belvina bertemu dengan maniknya. Hatinya bimbang antara harus percaya, atau tidak. Disisi lain Vio merasa bahwa Belvina tidak melakukan itu semua mengingat gadis itu tidak bisa sama sekali menghirup bau alkohol. Dan ia juga bisa liat dari gigihnya Belvina saat ia berjuang untuk mendapatkan cinta Daniel.

Akan tetapi, foto itu sangat jelas menunjukan bahwa Belvina sedang tidur bersama dengan seorang cowok yang tak dikenal. Bukan hanya tidur bersama, bahkan mereka sampai berpelukan. Kepalanya refleks menggeleng pelan, membuat Belvina merubah tatapannya, menjadi sorot kekecewaan.

Hancur sudah harapan Belvina untuk mendapatkan dukungan dari kedua sahabatnya. Mereka kini menganggapnya sebagai cewek rendahan, yang bisa disentuh oleh siapa saja. Ini menyakitkan bagi Belvina. Rasanya, ia ingin menghilang saja sekarang.

"Eh ... jalang sialan ada disini," bisik seseorang dari samping Belvina.

Gadis itu muncul dari belakang Belvina. Muncul tiba-tiba kayak setan. Eh, emang titisan setan. Ya, kan?

Belvina menoleh. Tangannya langsung saja menarik rambut milik gadis itu, membuat gadis itu memekik kesakitan sambil berusaha melepaskan tarikan Belvina.

"Ini semua ulah lo, 'kan?" desis Belvina tepat di depan wajah Shaaren.

Shaaren hanya diam. Ia tidak mengucapkan apa-apa. Gadis itu hanya sibuk melepaskan tangan Belvina dari rambutnya.

"Bel! Lepasin tangan gue, Jalang! Ini gak ada hubungannya sama gue!" pekik Shaaren sambil terus melepaskan tangan Belvina.

Saat Echa maju ingin membantu Shaaren, Belvina melepas tangannya. Ia menatap kedua orang itu dengan tatapan penuh benci. Kedua tangannya mengepal kuat.

"Munafik! Lo semua ... lebih busuk dari pada sampah tau nggak!" hardik Belvina lalu pergi dari sana. Ia tidak sanggup, jika harus berada satu ruangan dengan siluman binatang tidak punya hati seperti ketiga mantan sahabatnya.

Belvina pergi dari sana, tanpa sadar ada seseorang yang mengikutinya pergi dari sana.

****

Langkah kaki itu membawa Belvina ke taman belakang sekolah. Hanya di sini ia bisa bebas dari cemoohan dan hinaan dari siswa lainnya. Bokongnnya mendarat tepat sebuah kursi panjang yang berada di sana. Menyandarkan tubuh, lalu mendongak menatap langit luas.

Entah sudah berapa banyak tetes air mata yang turun di telinganya sejak pagi ini. Hari ini, adalah hari yang akan selalu ia ingat sampai kapanpun. Masih pagi, tetapi sudah banyak kesakitan yang menimpa hatinya. Mulai dari rahasia yang baru saja terbongkar, tuduhan yang sudah menyebar di seantero sekolah, dan sahabatnya yang mengkhianati nya.

"Kenapa harus aku, Tuhan?"

Ia menundukkan kepalanya. Meratapi nasibnya yang begitu malang. Semuanya datang secara bersamaan. Setelah ia bahagia karena sudah berhasil meraih cintanya, kini semua harapannya hancur dengan kenyataan bahwa mereka ternyata mustahil untuk bersama.

"Setelah gue berhasil luluhin hatinya, apa gue juga harus luluhin hati Tuhannya?" Belvina tertawa kecil. "Itu mustahil. Sangat tidak mungkin!"

"Kenapa harus aku, Tuhan! Kenapa?!"

"Karena lo orang yang kuat," sahut seseorang dari samping. Ia duduk tanpa seizin Belvina, dan tersenyum ke arah gadis itu.

Belvina menoleh. Ia mendapati Siti yang tersenyum manis ke arahnya. Belvina menanggapi itu dengan tatapan datar. Ia yakin, pasti Siti juga akan menyebutnya murahan seperti yang lainnya.

"Tenang aja, gue gak kayak mereka Bel. Gue percaya kalau lo enggak pernah lakuin hal bejat kayak gitu," ujar Siti, seolah tau apa yang ada di kepala Belvina.

Belvina masih tetap diam. Ia hanya menatap lurus ke depan. Hatinya sedikit lega saat Siti menuturkan kata-kata tadi. Diantara ratusan orang menghinanya, ternyata masih ada orang yang mempercayainya.

"Lo orang baik, Bel. Selama gue sekolah di sini cuman lo yang selalu mau bantu gue. Mana ada orang sebaik lo lakuin hal kayak gitu? Walaupun kita enggak akrab, tapi gue selalu perhatiin lo dari jauh. Gue takjub sama lo, Bel." Siti mengambil kedua tangan Belvina. Ia menggenggamnya, berusaha memberikan semangat kepada temannya yang satu ini.

"Lo dikasih cobaan kayak gini karena Tuhan tau, lo orang hebat. Lo pasti bisa hadapin semua masalah ini, Bel. Gue bakal bantu lo buat buktiin semuanya. Gue bakal selalu ada buat lo," tutur Siti seraya menatap manik Belvina hangat.

Kedua sudut bibir Belvina terangkat. Ia langsung menarik Siti ke dalam pelukannya. Memeluk erat, dan kembali menumpahkan air mata bahagia di pundak Siti.

"Makasih, Siti. Makasih karena lo udah percaya sama gue. Dan makasih, makasih lo mau menyemangati gue. Gue bener-bener butuh teman kayak lo sekarang, Sit. Disaat semua menjauhi gue, lo datang menjadi penerang dalam hidup gue," ujar Belvina sambil sesenggukan.

Siti melepas pelukan mereka. Kedua tangannya beralih ke wajah Belvina dan mengusap air mata gadis itu. Ia kembali tersenyum hangat.

"Lo enggak harusnya berterima kasih sama gue. Ini semua gue lakuin, karena orang yang selalu bantu gue sekarang membutuhkan pertolongan. Gue lakuin ini sebagai ucapan terima kasih gue buat lo, Belvina," ucap Siti, lembut. "Btw, tadi pas ke sini gue ketemu sama Bu Tika. Katanya, lo di panggil ke ruang kepala sekolah," lanjut Siti.

Belvina tersenyum hambar. Di panggil ke ruang kepala sekolah? Itu artinya hari ini adalah hari terkahir ia bersekolah di SMA ini.

"Tenang, Bel. Gue bakal bantu lo buat jelasin. Kita ke sana sama-sama ya," ajak Siti yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Belvina.

****

Otw trbt.
Jnlup nabung.

BEDA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang