Bagian 11

11.7K 1.6K 236
                                    

Melupakan tidak semudah mengungkapkan

Hujan mulai turun membasahi bumi. Tanah yang tadinya kering berwarna cokelat terang, kini berubah menjadi cokelat pekat dan basah. Tumbuhan yang tadinya layu karena terlalu kepanasan, kini kembali segar dan basah akubat guyuran hujan.

Kadang diharapkan, kadang tak diinginkan. Itulah hujan. Saat ia tak ada, beberapa orang sangat mengharapkan kehadirannya. Dan, saat ia ada, beberapa orang juga sangat membenci karena keberadaannya. Sungguh serbah salah.

Belvina menatap rintik-rintik air yang masih terus turun dari langit. Mengeratkan jaket yang ia pakai, dan mulai menyeruput cokelat panas yang sudah ia siapkan untuk menghangatkan suhu tubuhnya. Pikirannya saat ini sedang pusing.

"Gimana ya, caranya biar Daniel mau gue ajarin?" Gadis itu bergumam pelan.

Tadi siang, bu Fitra memintannya untuk membantu Daniel agar nilai cowok itu bisa kembali membaik. Belvina sih senang banget bisa disuruh mengajari Daniel. Ia jadi bisa terus-terusan dekat dengan Daniel. Tapi, yang jadi masalah besar apa Daniel mau diajari oleh Belvina?

"Mending tanya langsung," gumamnya sambil mengutak-atik ponsel yang ada di tangannya. Mencari kontak Daniel disana.

My jodoh-♡!!!

Daniel, aku mau ngomong  boleh ga?

Hampir lima menit Belvina menunggu balasan dari Daniel. Dan pada akhirnya, ia tidak mendapat balasan. Bahkan, Daniel hanya membaca pesannya. Sedetik setelahnya, barulah balasan dari Daniel masuk.

Gue gak ada waktu

Belvina mendesah berat. Ia tidak ingin mengganggu Daniel. Lalu, bagaimana caranya biar ia bisa membujuk Daniel?

Ia meletakkan ponselnya. Mengacak rambutnya frustrasi, lalu meminum cokelat panasnya sampai habis.

"Mending ke rumah Vio," gumam gadis itu dan mengambil ponselnya kembali. Mengutak-atik, mencari kontak Vio disana.

Setelah mengabari Vio, dan sudah mendapat persetujuan dari gadis itu, Belvina pun bergegas menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah Vio.

****

"Gimana? Lo udah dapat ide nggak?" tanya seorang cewek kepada cowok yang sedari tadi hanya berdiri di tempatnya.

Cowok itu berbalik, dan duduk di samping cewek tadi. "Lo yakin bakal lakuin ini semua?"

"Yakin lah! Gue itu enggak mau kalau mereka sama-sama!" Cewek itu menjawab dengan semangat.

"Gue pengen, lo buat Daniel benci sama Belvina. Buat cowok itu jijik sama Belvina," lanjutnya.

"Sekalipun mereka udah pisah, lo enggak bakal bisa sama Daniel," ucap Cowok itu. "Dan, Belvina juga enggak akan bisa sama Daniel karena mereka juga beda!"

"Iya gue tau. Tapi, Daniel suka sama Belvina. Gue pengennya Daniel itu benci sama Belvina. Cukup, di kelas aja gue kalah sama dia. Untuk masalah cinta, gue enggak akan biarin Belvina menang!"

***

"Kapan ya Daniel mau liat perjuangan gue?" gumam Belvina sambil menatap gelapnya malam.

"Kapan-kapan," sahut Vio dari belakang dengan nampan yang berisi dua cangkir cokelat panas dan beberapa cemilan. Gadis itu lalu duduk di samping Belvina.

Belvina mendesah berat. Ia menumpu dagunya menggunakan lutut. "Kenapa sih, gue harus cinta sama orang yang gak pernah balas cinta gue juga? Kenapa harus gue coba, yang rasain ini semua?"

"Karena tuhan tau lo itu orang yang kuat. Buktinya, selama ini Daniel selalu keras ke lo, tapi lo masih aja ngejar-ngejar dia. Tapi Bel, kalau gue saranin sih mending lo berhenti deh," ujar Vio. Ia mulai memakan cemilan yang ia bawa tadi.

Blevina menegakkan tubunnya. Ia menoleh menatap Vio. "Nggak bisa, Vi."

"Bisa Belvina. Gue yakin lo bisa lupain dia," ujar Vio lagi. Nada suaranya agak menuntut.

"Gue bingung. Setiap gue pengen jauhi dia, dia justru malah dekatin gue, dia malah ngasih gue harapan. Dan disaat itu gue urungin niat gue lagi buat jauhin dia,"  ucap Belvina.

Vio meletakkan plastik cemilannya. Ia memutar tubuhnya menghadap ke  arah Belvina. Lalu, memegang kedua Belvina, dan berusaha meyakinkan gadis itu.

"Lo bisa Bel! Coba deh, lo ingat semua perlakuan kasar dia ke lo, ingat semua kata-kata dia. Bahkan, hampir setiap hari dia ngomong kalau dia itu enggak suka sama lo. Bel sadar! Lo sama dia enggak akan bisa sama-sama!" Vio mengucapkan itu semua menggebu-gebu. Gadis itu ingin Belvina benar-benar melupakan Daniel.

Belvina melepas kedua tangan Vio. Dan berganti, kini ia yang mencengkram bahu gadis itu.

"Kenapa sih! Lo itu pengen banget kalau gue pisah sama Daniel. Suka ya lo sama dia?!" todong Belvina.

Kedua mata Vio membola. Ia melepas tangan Belvina lalu menatap ke depan. "Ogah!" sentak gadis itu.

"Asal lo tau ya! Stok cogan gue di WP juga masih banyak kali. Selera gue itu tinggi! Bukan yang kayak Daniel!" lanjutnya.

Belvina mendecih sinis. "Sok-sokan selera tinggi. Sampe lupa sadar diri!"

"Yayayaya terserah! Tapi gue yakin, kalau lo sama Daniel itu enggak bisa nyatu. Tu_." Vio menghentikan ucapannya. Hampir saja ia keceplosan.

"Lo nyuruh gue ngejauh kan? Gimana gue ngejauh kalau takdir malah maksa gue buat dekat terus sama dia."

"Maksudnya?"

Belvina menghela nafas, "Bu Fitra nyuruh gue buat ajarin Daniel. Otomatis, setiap hari gue bakal dekat terus sama dia."

"Ya lo tolak dong keinginan Bu Fitra. Gitu aja susah!" damprat Vio.

"Masalahnya, kalau gue menolak, membantah, atau gagal dalam membujuk Daniel buat gue ajarin, bu Fitrah bakal kosongin nilai MTK gue!"

"Ya ... kalau gitu sih ... emang derita lo kali ya. Gue cuman bisa bantu doa. Sabar ya Bel," ucap Vio prihatin lalu mengelus-elus punggung Belvina.

****

Seorang gadis keluar dari ruangan dokter dengan wajah lesu. Kenapa ia harus hidup sesingkat ini?

"Gimana?" Cowok yang sedari tadi dudul di kursi tunggu bangkit, dan menghampiri cowok tersebut.

"Perkiraan dokter tinggal sebulan Ndra," lirih gadis itu. "Gue pengen di saat-saat terakhir gue, dekat sama orang yang gue sayang. Termasuk, Daniel."

"Jadi?"

"Secepatnya kita bakal lakuin semua apa yang udah kita rencanain."

Follow ig: @Nrlll_aa

BEDA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang