BU terlihat megah dari luar. Hall room yang hampir membentuk hexagon itu tampak dingin bahkan tanpa masuk ke dalamnya. Mima melirik bagian dalamnya yang berubin putih dengan dinding kayu coklat, mengisi waktu untuk mengusir kebosanannya karena menunggu seseorang.
"Hei!" Mima berbalik, melihat siapa yang menyahut.
Donita berjalan pelan mendekati Mima yang ada di teras BU. Perempuan ini, gak ada satu moment pun dia gak cantik. Bahkan dengan seragam PDH abu-abu dan jeans hitam sederhana pun, Donita kelihatan classy.
"Nunggu lama ya?"
"Ahh, enggak kok"
Hari ini Mima ketemu Donita buat bahas tentang ibadah natal kampus. Awalnya Mima cuma ditugasi jadi MUA anak-anak tamborin, tapi hari ini Donita bilang ada kerja tambahan.
"Gak banyak, hal-hal kecil aja," ucap Donita saat keduanya duduk di Student Centre, bangunan terbuka berbentuk bulat di samping BU.
"Berarti aku harus siapin apa lagi, Kak?" tanya Mima sambil mencatat apa yang mereka bicarakan.
Donita meletakkan kepalanya di atas laptop dan bergumam, "Tolong siapin tempat buat pemain tamborin siap-siap ya," Ia berpikir lagi, "Kamu nyari gitaris deh satu. Dari CM pada gabisa semua soalnya,"
"CM?"
"Campus Ministry. Persekutuan doa di kampus lah ibaratnya,"
Mima terdiam sambil berpikir. Mima gak punya kenalan yang bisa main gitar. Baru mau nyebut nama Bian, Mima terhenti karena teringat apa yang dibilang Yudith.
Donita itu mantannya Bian, Mim
"A-aku belum kenal banyak orang sih kak,"
"Temen seangkatanmu deh gakpapa, atau temen kos," kata Donita dengan tatapan memohon. Mima gak enak buat nolak, lagipula kalau gak ketemu bukan salahnya juga. Satu anggukan pun akhirnya lolos.
---
Hari Minggu pagi
Mima menuruni tangga kos dengan derap kaki yang keras. Yudith mengikuti Mima menuruni tangga dari belakang. Kalau lagi buru-buru, Mima sering lupa nutup pintu gerbang. Selama membututi temannya, Yudith mengingat apa yang terjadi saat makan siang hari itu.
"Eh Mima, minggu besok gereja bareng yo!" ujar Bian.
Mima menatap Bastian dan Bian bergantian. Dengan degup jantung yang tak beraturan, ia mengangguk ragu. Bastian melemaskan bahunya, menutup mulutnya rapat-rapat.
"Oke, Mas" tegas Mima sekali lagi pada Bian, "...mau ikut juga gak Kak?"
Sani terkejut saat Mima bertanya tiba-tiba bahkan hamoir memuntahkan mie nya. Bastian, gak kalah bingung saat ditanya begitu.
"Biar bareng-bareng gitu,"
"Bertiga?" tanya Bian bingung.
"Kak Ezra mau ikut juga gak?" Mima menatap Ezra dengan berbinar.
"Eh tapi gua kan Kat-"
"Dah lah, sekali-kali gereja Kristen lu," potong Bastian, "Biar rame-rame kan?" Bastian mengalihkan pandangannya ke Mima, lurus tajam ke bola matanya.
"S-sani mau ikut juga?" Mima berpaling kearah Sani dengan penuh harap. Sani menghela napas perlahan. Padahal besok minggu udah janjian sama Kak Patrick buat gereja bareng. Cuma berdua!
Demi aku, San! Ucap Mima dengan telepati untuk meyakinkan sahabatnya itu. Alhasil enam orang di meja kantin itu sepakat buat pergi ke gereja bareng. Yudith memundurkan punggungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Knowing Everything
Teen Fiction"saat manusia merasa tahu segalanya" Mima kembali ke Salatiga untuk kuliah. Bukan keinginan, tapi karena Tante yang meminta. Mima berusaha supaya latar belakang keluarga gak mempengaruhi penilaian orang atas dirinya. Dalam usaha mencari jati diri, i...