Bab XXIV : Siapa yang Menyerah

143 32 33
                                    

Kafe Medium, Jam 23.45

Hampir tengah malam tapi beberapa orang masih mengunjungi kafe. Gak begitu banyak, jadi barista masih sempat istirahat dan main kartu.

Dari kejauhan, seorang yang gak asing mendekat.

Awalnya acuh, si barista pun mulai menegakkan badan. Lawan mainnya menyembunyikan kartu, membiarkannya pergi.

“Ngapain lu?”

“Lah ra oleh?*” jawab si pengunjung sinis.

*lah gak boleh?

Jeki terkejut melihat mata Bian yang bengkak.

Ia menghela napas, menepuk pundak kawannya. Bian melangkah ke tempat yang ia tandai. Tempat yang gak berubah sejak ia membangun usaha itu.

Sudut dalam kafe, dekat meja resepsionis. Kursi full busa tanpa sudut. Cocok buat ngungsi kalau kekunci dari kontrakan.

“Ama siapa lagi dah?” celetuk Jeki dengan sebotol sprite.

“Apane?”

“Tuh? Muka!”

Bian diam dan minum tanpa menjawab.

“Gara-gara? Cewek? Nike?”

Bian menggeleng. Malas nyebut nama Bastian. Yang ada dia bisa muntah.

Jeki membuang napas dan ikut menyesap minuman yang ia bawa.

“Mima pasti,” Bian tersedak.

“Lu ngejarnya ga bener sih. Belom abis satu, embat yang laen,”

Koyo koe ora wae,”*

*kayak lu engga aja

“Heh bekantan!” nada Jeki meninggi, “At least gua gak nunjuk-nunjukin kalo gua deket sama orang,”

“Lah elu? Bosen dikit, skip. Ketemu dedek, skip. Bego sih lu,”

Bian termenung.

Memang, banyak pesan tak terbaca selama ini. Semua sama, dari perempuan-perempuan yang dia ajak ngobrol. Ditinggal begitu saja saat si laki-laki jenuh.

“Beda,” ucapnya, “Aku udah nemu satu orang. Ya itu yang aku kejar,”

“Trus? Yang lu baperin tuh gimana?”

“Gak pernah aku baperin orang. Wong cuma tak chat biasa kok. Kayak temen,”

“Hm. KAYAK TEMEN,” Jeki bangun dan meninggalkan Bian.

“Emang salah kalo aku ngerespon? Nek ngga dikira sombong,”

“Yan,”

“Salah juga kalo aku mau fokus ke satu orang? Bukan kan? Bukan salah e mereka juga? Kalo gak klop ya gak klop wae,”

Jeki menatap kawannya malas.

Muak?

Terakhir Bian berkata hal yang sama adalah hari pertama Bian nggandeng pengganti Donita. Seminggu setelah perkelahiannya sama Bastian tahun lalu.

“Kalo bener dugaan gua, mending lu biarin tuh cewek milih. Lu, atau Bastian,”

Bian mendongak kesal. Gak ada tenaga untuk berdebat. Sisa-sisa dirinya menatap kipas angin hitam yang tergantung. Sekelebat kata-kata Bastian di BU muncul.

Aku kudu piye?

Suara pengunjung yang riuh di luar kafe menemai pikiran kosongnya malam itu. Ia menatap keluar. Matanya mengarah ke keramaian, tapi gak benar-benar melihat mereka. Bian punya rencana, dan mundur gak ada di dalamnya.

---

Kos Mima, pukul 22.25

"Mim. Mimaaa,"

“Napa San?”

Mima membalik tubuhnya dan menatap langit-langit kamar kos.

"Udah lihat nilai PKn? Udah? Udah?"

Mima geli karena antusiasme Sani dari balik ponsel, “Udah, San…”

Yang di ujung pun terdiam, “Uh, Mima kamu gakpapa?”

“Hah? Gak papa kok. Nilaiku A,”

“Kok kayak sedih men. Napa?”

Ia bangun dan menegakkan punggung. Benar juga. Kenapa aku murung?

“Hahaha biasa to, San. Kan Eyang mau pindah. Semester depan aku mulai sendirian di Salatiga,”

“Bukan karena Mas Bian kan?”

“Ahahaha gak kok. Aku tuh capek habis packing,”

Sani mengangguk lemah. Suara hujan dari tempat Mima terdengar sampai ke telinganya. Salatiga sering hujan, maklum bulan Desember.

“Ah iya, Mim…”

“Hm?”

“Uhh, kemarin pas nganterin aku ke terminal Kak Patrick tuh ngomong….” Sani terdengar ragu.

“Hah? Kak Patrick?”

“Iya, dia-”

“Kamu dianter sama Kak Patrick? Bukannya sama Lukas?”

Mima bisa mendengar helaan napas Sani di ujung telpon. Ia terdengar kecewa.

“Kan aku dah ngomong Lukas nungguin Ucok di rumah sakit,”

Mima mengerjap-kerjapkan matanya. Apa aja yang dia lewatin?

“Kak Patrick ngomong piye?”

“Uh…” Sani berhenti sejenak, “Dia nembak aku, Mim”

Mima termenung.

Knowing EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang