Jadi hari ini Mima mutusin untuk mengakhiri semuanya. Bukan, bukan hubungannya sama Bian. Mima mau mengakhiri masa tengkarnya sama Sani.
Setelah gak bisa tidur plus mikirin tugas yang dia gak mudeng sama sekali, Mima tahu akar permasalahannya adalah komunikasi.
Bodo amat siapa yang salah, Mima gak suka didiemin.
Kelas selesai jam tiga. Mima udah janjian sama Lukas buat beli kado permintaan maaf.
"Yakin kau Mim?"
"Yakin lah,"
"Mantap,"
Mima masih ingat wishlist temannya. Liptint keluaran terbaru, kaca mini dan bolpoin gel warna ungu. Semua dibungkus rapi sedemikian rupa, disusun dalam box mini warna rose gold dengan pita biru gelap. Ditambah beberapa potongan kertas sisa makalah biar hadiahnya tetap pada tempatnya.
Sepanjang perjalanan pulang, Mima enggan melepaskan kotak itu.
Motor Lukas pun masuk ke area parkir kostan Sani. Mereka udah memastikan Sani ada di sana. Lewat Patrick tentunya. Orang yang Mima anggap salah satu sumber masalah justru menolongnya berdamai dengan Sani. Sesuatu yang membuat Mima makin merasa bersalah karena luapan amarahnya.
"Sani juga sama gengsinya kayak kamu. Bagus deh kalo salah satu ada yang mau ngomong,"
Begitu kata Kak Patrick.
Mima berjalan hati-hati, gak mau mengejutkan Sani yang kebetulan pintu kamarnya terbuka. Kata Kak Patrick sih Sani masih meringkas materi.
Benar saja, gak jauh dari kamar Sani, Mima bisa melihatnya duduk menulis. Kacamatanya tergantung di batang hidung, cepolan khasnya lengkap dengan rambut yang belum disisir.
"San?"
Sani mendongak begitu suara yang gak asing itu datang. Kacamatanya turun natural, memaksanya sedikit menyipit. Memastikan bahwa suara itu beneran suara Mima.
"Hei,"
"Hei,"
Awalan yang canggung.
"Gimana? Mim?"
Harusnya Mima nyiapin kalimat pembuka, bukan ribet mikirin cara bungkus kado.
"Nih,"
"Opo iki?"
"Hadiah," Mima mengerutkan bibirnya sesaat setelah menjawab.
Ia menunggu Sani membuka kotak itu. Sani terkekeh dan mengangkat isinya satu per satu.
Tawa Sani membesar begitu tahu potongan makalah mereka.
"Owalah opo meneh ki?"
"Idene...Lukas tho,"
*ide nya Lukas lah.
"Oh bikin ini sama Lukas?" Mima mengangguk. Tubuhnya bersandar di kusen pintu yang dingin.
Cuaca sore itu lebih dingin dari biasanya. Kontras dengan udara, langit sore tampak hangat. Keunguan dengan semburat jingga, sisa sinar matahari yang perlahan hilang.
Biasanya jam-jam segini, Mima dan Sani udah siap-siap buat nyari makan atau baru balik window shopping di supermarket.
Tentunya sambil cerita-cerita gak jelas tentang materi kuliah yang mereka gak paham. Lebih tepatnya Mima sih yang gak ngerti.
Sayang banget mereka berakhir kayak gini. Tapi Mima gak mau menyerah.
"Sorry yo buat kemarin," ucap Mima memelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Knowing Everything
Ficção Adolescente"saat manusia merasa tahu segalanya" Mima kembali ke Salatiga untuk kuliah. Bukan keinginan, tapi karena Tante yang meminta. Mima berusaha supaya latar belakang keluarga gak mempengaruhi penilaian orang atas dirinya. Dalam usaha mencari jati diri, i...