Bayangkan harus kelas di saat kondisi kampus sangat sepi. Hanya beberapa mahasiswa yang tampak di kampus. Paling pol kalau ada yang tanding bola di lapangan.
Belum lagi cuaca mendung yang bikin gerah sore-sore. Lengkap sudah penderitaan kelas gabungan Bahasa Indonesia.
Mima lebih gak tenang lagi. Gimana enggak? Dari sekian kebetulan di dunia, salah satu yang ia alami adalah sekelas bareng Nike.
Meski yang di sana terlihat biasa aja, Mima tahu ada yang gak beres. Hatinya masih gak tenang mengingat apa yang pernah ia dengar tentang perempuan ini. Poin plusnya, Mima jadi gak ngantuk.
"Santai Mim santai," bisik Sani di sebelahnya. Mata mereka gak lepas dari papan tulis yang penuh coretan dosen, namun percakapan mereka tetap jalan.
"Edan wae, San. Sekelas lho!"
"Duh kok ya ngepas men sih,"
"Gak paham juga,"
Keduanya punya pertanyaan yang sama. Kok bisa?!
Sani yakin Mima kepikiran sampe pulang nanti. Mungkin sampai semester ini berakhir. Gerak tubuhnya pun terbaca dengan jelas. Tulisannya cepat dan gak beraturan. Ini bukan kali pertama, dan bukan kali terakhir.
Selama ini dia sudah banyak melihat Mima berubah, dan Sani gak ada dalam perubahan itu.
---
Sudut ruang lain mendingin. Bahkan aula lantai dua turun suhunya. Gedung FEB sudah jadi gedung terdingin seantero UKRISTA. Dan musim hujan 2018 memperburuk keadaannya.
Jeki mengusap lengannya yang dibalut jaket denim tebal. Bukan miliknya, entah punya siapa di kos.
Laptopnya mengirim lagi pemberitahuan low-battery. Ia menunggu terlalu lama.
"Anjinglah,"
Bian gak kunjung datang.
Jeki membuka room chat nya untuk kesekian kali, memastikan dua tanda centang berubah biru. Nihil.
"Woi!"
Wajah yang sekarang dia gak mau lihat, berseri dari arah lorong. Tertawa bodoh layaknya mahasiswa yang baru aja dapat nilai E.
"Nunggu lama to?"
"Sejam,"
"Ahh cepet itu,"
Bian menarik kursi dan duduk tanpa rasa malu. Bukan hal yang baru buat Jeki, bahkan udah biasa. Bian membuka ponselnya, ada disitu seolah karakter utama. Mungkin menunggu Jeki membuka obrolan atau bahkan lupa Jeki di situ.
Ia menyapa beberapa mahasiswa yang lewat, tentu bukan Bian yang nyapa duluan. Hingga laptop Jeki berhasil dimatikan gak ada suara yang mengisi jarak mereka.
"Gimana kafe?"
"Aman,"
"Hmm," bukan itu yang Jeki mau tanyakan.
"Kemaren rapat e Red Cup gimana, Ki?"
"Masih stuck. Mau nambahin peraturan ngikut punya FH tapi gatau dah,"
"Wah," Bian membuka aplikasi game-nya, "Pake proposal kemaren wae harus e,"
"Kan inovasi Yan,"
"Inovasi inovasi yo pake ide fakultas lain,"
"Mereka santai aja sih, FH"
"Halah lagian Red Cup thok. Habis itu ketutup Fest-Con sama IICF,"
Pembicaraan mulai melebar. Yang awalnya membahas panitia Jeki merambah jadi kritik panitia lain, acara lain, orang lain. Panitia Bian, acara Bian, orang-orangnya Bian. Jeki terpaksa menghentikan narasi Bian yang ngalor-ngidul tentang panitia Jeki. Gak gak, bukan terpaksa juga sih. Memang itu tujuan mereka bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Knowing Everything
Teen Fiction"saat manusia merasa tahu segalanya" Mima kembali ke Salatiga untuk kuliah. Bukan keinginan, tapi karena Tante yang meminta. Mima berusaha supaya latar belakang keluarga gak mempengaruhi penilaian orang atas dirinya. Dalam usaha mencari jati diri, i...