Mau bareng gak?
Kata-kata itu terngiang di kepala kecil Mima sedari tadi. Ia melirik Bastian yang berdiri di sebelahnya, tampak tenang menutup mata dan berdoa. Gimana bisa dia kalem banget sementara Mima gak fokus doa penutup karenanya.
“Amin, amin, amin” nyanyian jemaat menggema di dalam gedung.
Bastian mengucapkan doa singkat untuk saat teduh. Biasanya, Bastian bakal mengulang doa dengan kalimat yang sama, “Tuhan, seperti biasa.” Namun kali ini berbeda. Dia benar-benar berdoa. Ia menatap Mima yang masih terpejam. Bastian tersenyum melihat wajah perempuan yang ia doakan itu. Ia sadar, Tuhan gak benar-benar mematahkan hatinya.
Mima membuka mata, menatap sekitar untuk berjabat tangan dan mengucapkan selamat hari Minggu dengan jemaat lain. Mima menoleh ke samping dan menatap Bastian yang masih mematung.
“Se-selamat hari Minggu,” ucapnya sembari menyodorkan tangan. Bastian memandangi tangan itu dengan canggung.
“E-eh, selamat hari Minggu,”
Jabat tangan kali ini terasa aneh, mengingat mereka udah gandingan-secara-enggak-langsung waktu persembahan tadi. Mima segera melepas tangan Bastian dan pergi keluar.
Jemaat sore itu memang lumayan banyak, jadi antrian untuk keluar berjalan dengan lambat. Mima sadar Bastian sedari tadi ada di belakangnya, tapi dia memutuskan untuk gak mikirin itu. Toh jantungnya udah berdegup normal, bahkan benar-benar tenang.
Bastian akhirnya menjauhi pintu gereja, melangkah menuju motornya yang terparkir cukup dalam. Butuh beberapa motor untuk pindah duluan baru motornya bisa keluar. Ia melihat sekitar, Mima gak terlihat sama sekali. Padahal tadi dia ada di belakang Mima selama jalan keluar. Kayaknya ajakan kali ini ditolak. Lagian pdkt cepet banget, Bastian mengutuk dirinya sendiri yang terlalu cepat ngajak balik perempuan itu. Bastian memeriksa ponselnya yang ternyata mati, menunggu jemaat lain mengeluarkan motornya.
Daripada nunggu yang gak pasti, Bastian langsung menaiki motornya dan mengencangkan tali helm.
“Jadi gak kak?” bisik seseorang di sampingnya. Bastian terkejut, hampir menjatuhkan motornya.
“Ya Tuhan! Anj-ASTAGA!” Mima mengerutkan dahinya.
“Jadi apa enggak?”
“Duh- Apanya?!”
“Lah katanya mau pulang bareng. Gimana sih, Kak?” gantian Bastian yang terdiam.
“O-oh. Kamu m-mau?” ujar Bastian terbata-bata, “… lha tadi kamu kemana?!”
“Ke toilet bentar,” sahut Mima menggerutu.
“Ck, aku kira engga jadi. Tiba-tiba ngilang aja,”
“Ya aku kira kakak nungguin,”
“Kamu gak bilang iya apa enggak,”
“Y-ya makanya tungguinn, kan kakak yang nawarin!”
“La kamu-”
Bastian terdiam seketika. Sejak kapan percakapan ini berubah jadi aku-kamu? Gak masalah sebenarnya, Mima juga orang Jawa. Tapi buat Bastian ini perubahan yang besar.
“Ya udah gih, naek”
“Ikhlas gak nih?”
“IKHLAS! Naek cepet keburu malem,”
Dih galak banget! Mima jadi agak nyesel nge-iya-in tawaran ini. Tapi kalau Mima berubah pikiran pasti jadi awkward. Dia baru tahu kalau Bastian bisa sebawel ini. Lucu juga.
Bastian mencoba menyembunyikan wajahnya yang merah dibalik kaca helmnya. Ia menunggu Mima yang menjepit rambutnya karena Bastian gak bawa helm lain. Mima gak mau rambutnya awut-awutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Knowing Everything
Teen Fiction"saat manusia merasa tahu segalanya" Mima kembali ke Salatiga untuk kuliah. Bukan keinginan, tapi karena Tante yang meminta. Mima berusaha supaya latar belakang keluarga gak mempengaruhi penilaian orang atas dirinya. Dalam usaha mencari jati diri, i...