Parah. Bener-bener parah. Mima serba salah tingkah saat tantenya berjongkok dan melipat-lipat kardus bekas paket barang yang baru sampai sebelum kelas tadi.
"Tan," panggil Mima dengan suara lirih, "..biar aku aja, Tan"
Si Tante bukannya menyahut, justru makin cepat melipat dan memisahkan kardus-kardus Mima. Matanya menatap sampah itu dengan nanar dan sarkastik. Mima yakin kalau pikiran tantenya bisa di-dubbing, isinya hanya umpatan-umpatan kecil. Mima menoleh dan mendesis pelan ke abangnya yang sibuk memijat layar ponsel.
"Tante, udah gakpapa biar adek aja," kata Mima sembari memajukan tangan untuk membantu.
"Udah, katanya kan ada kelas. Gak sempat kalo katamu tadi di telpon, kan"
"Barangnya baru sampe tadi sebelum kelas loh, Tan"
"Gak sempat adek rapiin,"
TAK!
Baik Mima maupun Abang sama-sama kaget karena hentakan kaki Tante Sonya saat ia bangun. Tante Sonya menepuk tangan, menyingkirkan debu dari telapak tangannya. Sontak Mima berdiri, membenarkan jeans nya yang sedikit turun karena terpaksa berjongkok tadi. CTAK! Tante Sonya menyentil dahi Mima dengan keras.
"Aduh, Tante!"
"Kalo gitu, jangan Adek buka dulu!" potong Tante Sonya.
Mima gak terkejut dengan respon Tante Sonya yang keras. Sejak kedua orang tua Mima meninggal, tepatnya saat Mima berumur 10 tahun, ia dirawat Tante Sonya dan keluarganya. Wajar kalau Mima menganggap Tante Sonya seperti mamanya sendiri. Tante menikah dengan pakdhe-nya Mima dari pihak Mama.
Tante Sonya sendiri memang sahabat Mama sejak SMA. Tante Sonya sekeluarga pindah ke Jakarta saat Mima mau masuk SMA karena pekerjaan Pakdhe. Karena takut gak bisa memperhatikan Mima karena bekerja, Mima tinggal dengan eyangnya di Jawa Tengah.
Baru kali ini Mima benar-benar merantau. Ya, Salatiga memang cuma kota kecil, kota tempat rumah Pakdhe dulu sebelum akhirnya pindah. Sayang, rumah itu sudah dijual, jadi Mima harus tinggal di kost dekat kampus.
Untungnya, ia sudah akrab dengan kota ini. Bang Jonathan, sepupu Mima dulu juga kuliah di sini, di universitas swasta tempat Mima kuliah sekarang. Toh bagus, udah kenal areanya. Murah pula. Itu kata Tante Sonya saat Mima lagi galau pilih tempat kuliah.
"Dah lah, Dek! Makan yuk," sahut Tante Sonya membuyarkan lamunan Mima.
Ia mengerjap-kerjapkan matanya, melihat langit yang mulai gelap. Bergegas ia mengunci kamar dan menyalakan lampu lorong, sementara tantenya mengomentari tumpukan sampah di depan kamar yang lain.
Jonathan hanya manggut-manggut dan mengeluh kecil karena ibunya yang banyak omong. Ia memanggil Mima supaya gadis itu melangkahkan kakinya lebih cepat.
CKLEK!
Sebuah pintu kamar terbuka dan yang empunya kamar keluar, membuat Tante Sonya kaget dan mengumpat kecil. Gimana enggak? Perempuan yang baru saja keluar itu muncul dengan rambut kusut, muka bangun tidur, dan kaos kebesaran yang bener-bener gak rapi. Yang empunya kamar ikut kaget saat melihat Tante Sonya dan Bang Jonathan.
Buru-buru perempuan pemilik kamar itu menutup pintu kamar, kemudian menunduk untuk memberi salam. Tante Sonya membalas anggukan itu dengan senyum masam yang bisa dibaca jelas oleh Mima.
---
"Gila, dek. Masak kamu se-kos sama anak kayak gitu? Pindah aja lah?"q
Mima bingung bagaimana menanggapinya. Mima baru datang satu setengah bulan yang lalu. Meskipun belum cukup akrab dengan lingkungan barunya, Mima cukup nyaman tinggal di kos ini. Kamarnya kecil, tapi nyaman. Kamar mandi dalam lengkap perabot sederhana dan wifi yang lancar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Knowing Everything
Teen Fiction"saat manusia merasa tahu segalanya" Mima kembali ke Salatiga untuk kuliah. Bukan keinginan, tapi karena Tante yang meminta. Mima berusaha supaya latar belakang keluarga gak mempengaruhi penilaian orang atas dirinya. Dalam usaha mencari jati diri, i...