"Lu emang gila!" ujar Ezra sembari melempar tasnya ke meja. Sekarang, semua mahasiswa di lantai 5 perpustakaan melirik ke arahnya. Tapi Ezra gak peduli, dia malah mengeluarkan hapenya buat main game.
Bastian duduk diam menghadap laptopnya yang gak nampilin apa-apa. Sementara itu, Ezra sibuk menceramahinya karena apa yang baru aja dia katakan.
"Kan lu nanya ya gua jawab," timpal Bastian dengan santai.
"Anjing bener. Lu gak inget kita ada rakoor?"
Bastian menutup laptopnya dengan cukup keras. Ia memandangi wajah heran Ezra di hadapannya.
"Kasian Koko gak ada yang nganter, jadi-"
"Bolak balik, nyet. Kita rapat di Soka, lu nganter ke Ambarawa,"
Bahu Bastian menurun. Dia pikir posisinya di BPMF gak penting-penting amat. Gak ikut beberapa sesi pun masih bisa. Tapi kawannya itu curiga tentang hal lain. Ezra memundurkan kursi dan meletakkan dua lengannya di belakang kepala. Sekarang semuanya udah jelas.
Bastian mendengus seraya memainkan ponselnya, "Ya elah nganterin doang,"
"Lu kira gua gak ngerti lu bakal ngapain? Mau ikut nunggu kan?" tanya Ezra menyelidiki.
"Y-yaa iya, gua nunggu di mobil kek. Beli sate kelinci kek. Mana sempet juga gua liatin Mima!"
Ezra bangkit dari kursinya. Deritan kursi membuat semua orang menoleh.
"Ja, lu apaansih?"
"Tuh kan! Mima!"
Bastian melotot karena baru sadar nama perempuan itu lolos dari mulutnya.
"Gua ga nyebut si Mima ya. Lu sendiri bas," ujar Ezra saat dirinya duduk lagi.
Dia gak bisa berkutik lagi. Toh, memang itu kenyataannya. Kalau bukan karena makrab hukum, Bastian juga ogah nganter jemput orang. Malam-malam pula.
Bastian mengusap wajahnya kasar. Ia menyibak poninya dengan berantakan.
Mencoba sekuat apapun, dia bukan pembohong yang ulung. Bastian sendiri gak tahu kenapa dia sebegitu pengennya ketemu Mima.
Yang pasti, dia punya kesempatan.
"Keliatan banget ya?"
"Jelas-jelas lu sebut namanya nyet," jawab Ezra sembari mengeluarkan ponselnya.
"Enggaa," Bastian terlihat risau, "...maksudnya selama ini. Keliatan emang?"
Ezra melirik di balik ponsel dan mengangguk. Bastian mengusap wajahnya lagi. namun sesuatu menggelitik perutnya.
"Gak nyangka ya Ja. Gua suka ama Mima,"
Ezra masih fokus pada gamenya, tapi tetap membiarkan Bastian bicara. Mata sahabatnya berbinar menyebut nama Mima. Bastian tertawa tanpa dipaksa.
Ezra ikut tersenyum simpul melihat Bastian yang bertingkah seperti anak kecil.
"Gua kira dia caper doang di kelas. Ternyata-"
"Ternyata?"
"Bukan dia yang caper. Tapi gua yang merhatiin," ucap Bastian bersemu.
Ezra berhenti main game, ia memandang temannya lekat-lekat.
Selama dua tahun terakhir, baru kali ini Bastian ketawa karena cewek. Kali ini dia bener-bener suka sama Mima.
"Karena?" tanya Ezra.
"Cantik? Banyak yang lebih cantik. Pinter? Keknya enggak,"
"Tapi?"
"Hmm, gua suka aja liat dia ketawa. Eh? Nggak. Liat dia ngapain aja gua suka," ujar Bastian dalam satu tarikan napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Knowing Everything
Teen Fiction"saat manusia merasa tahu segalanya" Mima kembali ke Salatiga untuk kuliah. Bukan keinginan, tapi karena Tante yang meminta. Mima berusaha supaya latar belakang keluarga gak mempengaruhi penilaian orang atas dirinya. Dalam usaha mencari jati diri, i...