Bab 16 Sesuatu

8 4 0
                                    

“Tunggu, darimana kau tau namaku?” tanya Arsa yang baru sadar dari tadi Leo memanggil namanya.

“Kau baru sadar sekarang? Aku sudah melihatmu sejak kau lahir. Aku yang ditugaskan untuk mengawasimu, apakah kau sekarang pantas mendapatkan berkah ini atau tidak.”

“Berkah apa?”

“Mungkin sekarang belum waktunya, kau harus mengunjungi suatu tempat dulu nanti. Hari ini sepertinya kau bermimpi cukup lama, Arsa. Ini sudah waktunya kau bangun. Nanti aku panggil lagi ya,” ucap Leo sambil melenggang pergi menjauhi Arsa.

“Tapi tadi kau bilang…” Arsa bangun dari tidurnya.
Ia tidak sempat menanyakan kemana ia harus pergi. Benar saja, ini sudah jam 8 malam. Hari ini Arsa memang tertidur cukup lama. Mungkin karena itu mimpi buatan Leo, yang berbeda dimensi dengannya.

Perlahan bangun dan beranjak dari kasurnya, Arsa masih memikirkan kejadian siang ini. Arsa mungkin sedikit emosional, dipikir lagi mereka bertiga tidak menyinggung soal apapun tentang keluarganya.

Berjalan menuju lemari, Arsa kembali menatap langit malam lewat jendelanya. Ia selalu merasa gelapnya langit membuat ia merasakan sesuatu. Entah apa itu.

“Hah… ada apalagi ini”
Arsa menyerah untuk berpikir lebih tentang perasaan aneh ini. Ia merasa lucu, berapa kali ia merasakan perasaan ini tiap kali menatap langit malam?

Memilih piyama tidur warna hitam, meletakannya di kasur, ia pun segera berjalan menuju kamar mandi. Bersiap untuk hari esok.

Arsa sering tidak makan malam, setelah ia selesai dari kamar mandi, Arsa langsung duduk di meja belajarnya. Sekedar membuka buku untuk mata kuliah besok. Ia tidak pernah duduk di sofa ruang keluarganya. Ia bahkan jarang keluar kamar lagi setelah mengenakan piyama. Setiap hari ia habiskan sendiri, dengan buku dan musik yang ia dengarkan.

Biasanya ayah dan ibunya pulang larut malam, jadi Arsa tidak  perlu repot-repot menyambut kepulangan mereka. Lagi pula selalu ada pembantu yang membukakan pintu untuk mereka. Arsa mungkin sudah muak dengan kehampaan yang ia rasakan selama ini. Ia sudah menyerah untuk berjuang mengigat lagi apa yang ia lupakan. Selama ini bahkan Arsa merasa hidup tanpa ada sesuatu yang perlu diperjuangkan. Ia sudah bisa semuanya, apalagi yang harus diperjuangkan?

Pegal memaksa Arsa untuk berdiri dan merehatkan matanya sejenak. Arsa sering diam di balkon sambil mendengarkan musik dari headphonenya. Menikmati dinginnya malam sudah menjadi kebiasaan Arsa. Tak jarang Arsa memikirkan hal gila seperti bagaimana jadinya jika ia melompat dari balkon ini, atau bagaimana rasanya mati dengan melompat dari gedung yang tinggi. Tapi itu hanya sebatas pemikiran aneh yang datang ketika ia tidak bisa mengatur hatinya. Arsa selalu menutup hatinya, tidak membiarkan ia merasakan sesuatu dari perasaannya.

GiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang