Bab 9 Rumah

11 4 0
                                    

Setelah sampai di parkiran, Arsa membuka mobilnya dan membawa tas untuk menyimpan buku-buku yang tadi ia pinjam. Mereka bertiga memasukkan buku-buku itu ke dalam tas.

“Terima kasih sudah membantu ku. Tapi kenapa kalian mau repot-repot begini?” tanya Arsa pada mereka.

“Tidak ada alasan khusus, kami hanya melihat kau tadi sangat kerepotan. Menutup pintu perpustakaan pun kau kewalahan,” jawab Zohar. Sedikit menyombongkan diri, menutupi kebahagiaannya yang meluap-luap itu.

Farhan tidak mau melewatkan obrolannya dengan Arsa, ia pun ikut menjawab,
“Iya, tadi kau sangat kesusahan. Kebetulan kami lewat sana, jika tidak bagaimana kau bisa membawa semua buku-buku itu sampai sini, hehe.”
Farhan tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya bisa mengobrol lagi dengan Arsa, dari tadi dia kegirangan sendiri. Sedangkan Hira hanya bisa tersenyum menanggapi pertanyaan Arsa tadi. Ia bingung ingin berkata apa, sudah bisa bertemu dengan Arsa membuat Hira kehilangan semua kata-kata yang ingin diucapkannya.

“Kalau begitu terima kasih ya. Kalian mau membantuku. Kalian kuliah disini?

“Iya, kami kuliah di sini. Ini juga tahun terakhir kami. Tadi kami baru selesai bertemu dosen pembimbing,” jawab Farhan.

Kali ini Zohar sibuk memperhatikan Arsa yang sudah banyak berubah. Ia jadi tinggi dan lebih putih juga lebih tampan. Arsa kecil yang dulu selalu tersenyum lucu di wajah tampannya itu sudah hilang. Dulu Arsa lebih pendek darinya, sekarang mungkin tinggi mereka sama. Perubahan Arsa menyadarkan Zohar, betapa lamanya waktu yang mereka lewatkan tanpa  Arsa.

Nampaknya Hira pun sedang memperhatikan Arsa. Raut wajah Arsa tidak terlihat bahagia. Padahal mereka bertiga daritadi senang, tapi sepertinya Arsa biasa saja. Arsa benar-benar melupakan teman-teman masa kecilnya ini.

“Oh, kalian sedang mengerjakan skripsi?”
Arsa bertanya setelah merasa dua orang yang lainnya tidak akan menambahkan jawaban orang ini.

“Iya haha, bagaimana dengan skripsi mu? sudah selesaikah?”
Farhan bertanya pada Arsa. Ia penasaran, seharusnya jika Arsa mengidap sindrom sarjana, hal seperti skripsi ini akan jadi mudah baginya.

“Iya, skripsi ku sudah selesai. Tinggal menunggu pengesahannya saja”

“Wah wah kau sangat hebat ya. Menyelesaikan skripsi secepat ini”

Tidak hebat, apa hebatnya menjadi kosong begini...
Arsa hanyut dalam pikirannya sejenak. Ia merasa sakit kepalanya terasa lagi, lebih sakit dari pada yang terasa tadi pagi.

“Arsa? Arsa? kau tak apa? kau baik-baik saja?”

Zohar dan Hira yang sedari tadi memperhatikan Arsa kaget, hidung Arsa mengeluarkan darah. Arsa mimisan. Tak lama setelah itu, Arsa ambruk, pingsan. Sebelum Arsa menyentuh tanah, Zohar dan Farhan buru-buru menangkap Arsa. Hira lalu segera menyuruh Zohar dan Farhan untuk membaringkan Arsa di kursi panjang yang tak jauh dari parkiran tempat mereka mengobrol tadi.

Hira mengelap darah yang keluar dengan tisu, Zohar dan Farhan berusaha membangunkan Arsa. Sudah 10 menit Arsa pingsan.

Aku pingsan ya...
Arsa beranjak duduk dari posisi tidurnya tadi.

“Arsa, akhirnya kamu bangun,” kali ini Hira berbicara.

“Syukurlah. Kalau kamu sakit, istirahat dulu di rumah, jangan ngampus dulu. Ini udah siang, kamu ga ada kelas lagi kan?” Zohar bertanya, terdengar sekali nada khawatirnya.

“Kalau udah ga ada kelas, kita anterin kamu pulang ya? Arsa, kamu udah bisa denger kita? Arsa?” tanya Farhan sama khawatirnya dengan Zohar dan Hira.
Arsa dari tadi mendengarkan, hanya saja ia tidak tahu harus apa lagi, mereka terlalu baik padanya, orang yang baru mereka temui. Ia terus memperhatikan wajah mereka bertiga. Terlihat sangat khawatir.

Rasanya seperti sedang di rumah, tempat dimana semua orang akan khawatir tentangmu.
Itu yang ia baca di buku.

GiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang