Di ruang yang sempit itu, Arsa tak hanya melihat anak kecil yang menangis. Ia juga terkadang melihat seorang pria yang selalu memukuli anak itu.
Walau mimpi yang Arsa lihat berwarna hitam putih, hanya memperlihatkan siluet semata, ia bisa merasakan suasananya. Terkadang Arsa terbawa suasana, dan berakhir dengan bangun tiba-tiba.
“Hah.. hah.. hah.. Apa sih mimpi yang aku lihat tadi, sangat tidak nyaman. Apa ia sedang disiksa? Hah.. kenapa kau ada di mimpi ku, bocah?”
Merasa tak bisa tidur lagi, Arsa memutuskan untuk pergi ke ruang membaca. Menghabiskan malam untuk membaca beberapa buku tidaklah buruk.
Ruangannya ada di kamar Arsa. Rasa-rasanya semua sudah tersedia untuk Arsa. Mulai dari laptop, komputer, internet yang tidak pernah habis, baju-baju mewah yang bukan pilihannya serta sepatu-sepatu yang serasi dengannya. Terkadang Arsa merasa kamar dan segala fasilitasnya terlalu banyak untuknya seorang.Ketika ia sedang berjalan menuju ruang baca, Arsa menatap langit malam. Hanya sesaat, tapi ia merasa ada perasaan yang tersimpan untuknya. Menunggu untuk ia ingat kembali. Belakangan ini, Arsa merasa seperti sedang dilanda dilema, selalu ada perasaan yang membuat ia ingin mengingat, apa saja yang terjadi sebelum kecelakaan.
Seberapa keras pun Arsa mengingat, tak ada memori yang muncul. Gelap. Semuanya gelap. Tak ada hal lain yang teringat kecuali saat ia terbangun dari komanya, dan melihat betapa khawatirnya Ayah dan Ibu. Sebenarnya Arsa pun belum yakin sepenuhnya, karena ia juga lupa siapa orang tuanya. Untuk saat ini Arsa yakin mereka berdua adalah orang tuanya, karena dalam semua data Arsa, nama mereka berdualah yang selalu muncul.
Arsa tak percaya ini, mengapa ia terlalu sentimental. Arsa merasa tak akan ada yang berubah meskipun ia mengingat masa lalunya. Semua itu hanya potongan kecil kehidupan Arsa yang bahkan tak penting untuk selalu dikenang. Itu masa lalu ketika Arsa berumur 8 tahun, tak akan mungkin lebih baik dari Arsa yang sekarang.
Arsa membuka matanya, kembali melihat langit malam sejenak, dan meyakinkan diri untuk tak memikirkan hal kekanak-kanakan seperti ini lagi. Lalu kembali berjalan menuju ruang baca.
Tak bisa Arsa pungkiri, ia selalu penasaran tentang masa lalunya. Album foto yang menunjukan dirinya semasa kecil begitu hidup dan penuh dengan perasaan. Album foto Arsa tak mungkin editan. Mustahil membuat gambar dirinya menggunakan aplikasi. Itu benar-benar foto yang diambil Ibunya untuk Arsa ketika ia ada di rumah.
“Hah…”
Arsa menghela nafas, ia mempercepat langkahnya menuju ruang baca. Berharap segala pemikiran tentang masa lalu ini bisa hilang ketika ia membaca buku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gift
RandomSayap putihnya itu mulai bergerak kedepan, menuju tubuh Arsa. Membuat tubuh mereka berdua semakin dekat. Sayap itu terus menghilangkan jarak yang ada. Arsa yang dipeluk dengan sayap lembut itu menerima dekapan hangat darinya. Lambat laun tangan Arsa...