Bab 17 Maaf

6 4 0
                                    

Merasa sudah cukup mencari udara segar di balkon, Arsa kembali masuk ke kamarnya. Duduk di meja belajarnya, Arsa bingung, tidak ada lagi yang harus dikerjakan. Membaca buku di ruang baca hari ini Arsa sedang tidak ada mood. Karena sudah memasuki akhir tahun kelulusannya, Arsa jadi senggang karena tidak terlalu banyak jadwal yang tersisa. Tugasnya saat ini hanya harus mempersiapkan tentang ujian kelulusannya. Arsa merasa sudah siap tentang itu. Jadi hari-hari belakangan ini terasa lebih santai.

Memutuskan untuk berbaring di kasurnya, Arsa memejamkan mata. Memikirkan perkataan ketiga teman barunya tadi siang. Arsa benar-benar berpikir, mungkinkah mereka adalah bagian dari masa lalunya. Tapi itu mungkin saja, karena Arsa tidak ingat apa-apa. Mungkin mereka tahu, apa yang Arsa tidak tahu sekarang. Membuka mata, Arsa duduk dari tidurnya. Ia tidak ingin terlalu banyak berpikir lagi.

Berjalan menuju meja belajarnya, Arsa merapikan semua buku yang sudah dibaca, membenarkan posisi lampu membacanya, mengatur ulang semua yang tertata di meja belajarnya itu. Arsa selalu merasa nyaman setelah membereskan sesuatu, karena itu ia selalu merapikan ulang barang-barang di kamarnya. Setelah semuanya rapih, Arsa menyerah untuk mencari pengalihan lainnya dan memikirkan lagi tentang tiga orang yang tiba-tiba datang dan mengganggunya tadi siang.

Berbaring lagi di kasurnya, Arsa melihat kontak baru yang disimpan Zohar tadi siang. Zohar Akemi, Farhan Gentala, Hira Candida. Nama kontaknya ditulis lengkap. Mencoba mencari tahu informasi mereka di sosial media yang lain, Arsa hanya menemukan fakta bahwa mereka semua ternyata satu SD dengan Arsa. Ini menguatkan pemikiran Arsa mengenai mereka yang mengetahui apa yang tidak diketahui olehnya.

Setidaknya walaupun nanti mereka tidak bisa membantu Arsa mengingat masa lalunya, ia harus tetap meminta maaf pada mereka. Perkataannya tadi siang sangat kasar. Mereka hanya berniat membantu, tapi Arsa terlalu takut. Takut nanti hanya akan tersisa luka yang lebih banyak lagi daripada kebahagian karena bertemu dengan mereka.

Akhirnya Arsa memutuskan untuk menghubungi Zohar, ia ingin tahu apakah Zohar masih bisa dihubungi meski ini sudah larut malam.

Mungkin benar, ini sudah larut, bagaimana mungkin Zohar masih bangun

“Iya Arsa Halo? ada apa Arsa?”

Tepat ketika Arsa akan mematikan teleponnya, terdengar suara dari handphonenya. Itu suara Zohar. Segera ia menjawab dan berbicara,

“Maaf menganggumu Zohar, tapi bisakah besok kita semua bertemu lagi di kampus?”

“Kenapa kau bertanya? tentu kita semua bisa bertemu lagi Arsa. Pertanyaan konyol macam apa ini, haha...”

Mendengar Zohar tertawa, membuat Arsa mengangkat sudut bibirnya. Ia merasa lega, ternyata Zohar masih baik padanya. Ia jadi tak sabar menunggu hari esok dan bertemu Hira juga Farhan di kampus.

“Arsa? kau masih disana?”

“Oh iya aku masih disini, maaf maaf aku tadi melamun.”

“Aku juga yakin, Farhan dan Hira akan senang karena nanti akan sering ketemu.”

Sering bertemu… perkataan ini membuat Arsa berpikir lagi, bisakah hubungan yang baru ini berakhir bahagia.

“Arsa? kau melamun lagi? jangan khawatir. Kami sungguh-sungguh dengan mu.”

“Em, tentu. Sungguh, aku sangat berterima kasih.”

“Tentu, kawan.”

GiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang