Bab 3 Penyesalan

74 5 3
                                    

Bukan hanya Arsa yang bangun ditengah malam seperti ini, terkadang Ibunya pun terbangun dan tak bisa tidur lagi. Berbeda dengan Arsa, Ibunya akan menghabiskan sisa malam yang masih panjang ini untuk melihat semua album foto keluarganya.

Setiap melihat berbagai macam foto yang tertempel di album, Ibunya Arsa selalu merasa waktu begitu cepat berlalu, meninggalkan semuanya tanpa perasaan. Waktu terus berjalan tak peduli apa pun yang terjadi. Tak akan ada waktu lebih untuk menikmati setiap momen kehidupan, semua akan berlalu dan dikenang sesuai waktunya, tidak lebih tidak kurang.

Semakin ia membuka lembaran-lembaran album foto itu, semakin ia merasa bersalah karena melewatkan begitu banyak waktu bersama keluarganya. Apalah daya, penyesalan hanya tinggal penyesalan.

Tidak akan pernah ada momen yang sama ketika terulang. Selalu ada hal yang berbeda meski momennya sama. Di foto yang ia lihat, Arsa selalu jadi Arsa yang ia kenal, hanya saja tak sama lagi. Memang wajar jika seseorang berubah, terutama anak kecil yang beranjak dewasa. Tapi ini perubahan yang tidak wajar karena kecelakaan itu.

Foto Arsa selalu tersenyum dan selalu terlihat dengan posenya yang ceria. Arsa kecilnya selalu riang dan tertawa. Makin ia buka halaman-halaman selanjutnya, makin hancur hatinya. Tak ada lagi Arsa yang tersenyum, tak ada lagi Arsa yang tertawa di foto-foto yang ia ambil. Arsa yang ceria sudah hilang. Hanya ada Arsa. Arsa dewasa yang tak pernah tersenyum.

Tangis kesedihan tak terbendung lagi, dalam diam dan heningnya malam, air mata mengalir, membasahi pipi mulusnya. Meski air mata dengan derasnya menghujani dirinya, Ibu Arsa masih menahan tangisnya sekuat tenaga, ia tak mau membangunkan suaminya dengan suara tangisannya.

Kau menangis lagi Adara, mengapa kau tidak mengatakan kesedihan mu padaku? Tak apa sesekali kau jadi istri yang manja, sungguh tidak apa-apa. Jangan memendamnya sendiri. Maafkan aku, dulu aku sangat keras pada Arsa, tapi ini demi kebaikannya juga, kuharap kau mengerti, Bhadra, Ayah Arsa. Ia sudah menduga ketika Arsa bangun dari komanya, akan ada yang berubah. Itu membuat sang istri sedih. Tidak ada obat untuk penyakit yang Arsa miliki setelah ia kecelakaan. Tidak ada obat untuk sindrom sarjana dan hilang ingatannya itu.

Ketika Arsa bangun dari komanya, Arsa tidak mengenali Bhadra dan Adara, orang tuanya. Ia juga tidak mengingat siapa dirinya. Arsa bangun dengan semua ingatan masa kecilnya yang hilang.

Walau hanya ingatan anak kecil yang baru berusia 8 tahun, rasanya menyakitkan, ketika membayangkan semua waktu yang mereka lalui terlupakan. Adara merasa bersalah karena tidak bisa selalu ada untuk Arsa. Bahkan Adara baru bisa menjenguk Arsa setelah sehari Arsa dinyatakan koma. Ketika itu, Adara dan suaminya sedang keluar negeri untuk urusan bisnis mereka. Setelah mendapat kabar bahwa Arsa kecelakaan, Adara pulang duluan untuk melihat kondisi Arsa sementara Bhadra menyelesaikan urusan bisnis di sana.

Sesampainya di Indonesia, Adara langsung pegi menuju rumah sakit tempat Arsa dirawat. Betapa sedih hatinya, melihat anaknya yang masih kecil itu terbaring tak sadarkan diri. Suara monitor jantung anaknya menemani tangis pilu sang Ibu. Pikirannya penuh dengan penyesalan. Menyesal karena tidak berhenti bekerja sesuai permintaan suaminya. Andai ia berhenti bekerja, dan selalu menemani kemanapun Arsa kecilnya pergi, kejadian seperti ini tidak akan terjadi. Arsa akan selalu aman karena ada dirinya disisinya. Seandainya ia mengikuti permintaan suaminya, Arsa sekarang akan ada di rumah, menonton kartun kesukaannya. Ia akan tau semua  yang Arsa lakukan. Seandainya, seandainya dan seandainya. Hanya itu yang ia pikirkan. Duduk di samping ranjang tempat Arsa terbaring, semakin menguatkan perasaan menyesalnya. Adara menangis, menangis sejadi-jadinya. Untungnya saat itu rumah sakit sedang sepi, suara tangisan Adara tidak terdengar oleh siapa pun.

GiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang