"Lambat laun rahasia itu terbongkar dan seburuk apapun seseorang akan terlihat buruk di mata seseorang, namun tidak di mata Tuhan."
♡ Happy Reading ♡
°
°
°
°
♡ Queenara Aurelia ♡Terkadang orang dapat menyembunyikan sesuatu, namun orang itu sendiri tidak tahu bahwa apa yang disembunyikan dapat tercium. Sama halnya dengan bangkai, secerdik apapun seseorang menutupi bangkai itu, maka bau nya akan semerbak.
Seperti rahasia, lambat laun rahasia itu akan terbongkar. Entah itu dari siapa yang memberitahukannya, atau siap tidak siapnya seseorang untuk menerima rahasia itu.
Rahasia lima tahun silam adalah yang membuat Queen sempat tak percaya. Tak percaya yang selama ini dirinya tak mengetahui semua, rasanya ingin membenci namun tak bisa.
"Queen, dengerin Mami sebentar aja," ucap Nadilah yang sedari tadi terus-menerus mengetuk pintu kamar Queen.
"Mami akan jelasin semuanya, Mami mohon, Mami gak mau kamu terus-menerus kaya gini. Kamu boleh marah sama Mami setelah apa yang kamu dengar nanti," masih sama tak ada sahutan dari Queen.
Nadilah sudah mulai pasrah, dirinya meninggalkan kamar Queen dengan langkah kaki begitu berat. Namun baru saja bebarapa langkah, Queen lebih dulu memeluk tubuh Nadilah dari belakang.
"Mami, Queen minta maaf," lirih Queen pelan.
Nadilah membalikkan tubuhnya, dan kembali memeluk tubuh Queen.
"Kamu gak salah, sayang, Mami minta maaf sama kamu, kamu dengerin penjelasan dari Mami dulu, ya? Setelah itu kamu boleh marah atau benci sama Mami." ucap Nadilah.
"Iya, Mami."
Flashback on
Berbeda dengan pesawat yang di tumpangi oleh Bara, sayang sekali pesawat tersebut mengalami kecelakaan yang mengakibatkan seluruh penumpang tewas hanya 10% dari penumpang yang masih selamat, contohnya Bara.
Tubuh Bara terkulai lemas di sebuah pinggir pantai, darah bercecer di mana-mana. Lebam akibat terpentok batu besar, matanya mulai membuka secara perlahan.
Matahari begitu menyengat penglihatan Bara mulai memudar, namun seakan tubuhnya tau bahwa dirinya akan segera di bawa oleh seseorang yang entah itu siapa.
Di lain tempat Astrid dan Bram yang masih terdiam kaku ketika melihat berita dan mendapatkan informasi bahwa anak laki-laki pertamanya kecelakaan yang lebih tepatnya kecelakaan pesawat.
Bram serta Astrid berusaha menghubungi pihak berwajib, kedua orangtuanya tersebut khawatir dengan keadaan anaknya sekarang.
Tring .... Tring ....
Ponsel Bram berbunyi begitu nyaring, Bram segera mengangkat telpon tersebut.
"Selamat malam, dengan bapak Abraham Lincolyn?" tanya seseorang di seberang sana.
"Ya, saya sendiri. Ada apa, Pak?"
"Saya hanya ingin memberitahukan kepada bapak bahwa anak bapak bernama Albara sudah di temukan dalam keadaan kritis, sekarang Korban berada di rumah sakit Mitra keluarga yang berada di Indonesia."
"Syukur Alhamdulillah, baik, Pak. Saya dan istri saya akan segera terbang ke Indonesia," jawab Bram.
Bram memutuskan sambungan telponnya dan langsung pergi menuju Bandara yang Astrid dalam keadaan tidak sadarkan diri, jika dirinya tetap menunggu istrinya sadar pasti akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Bram membiarkan istrinya beristirahat sejenak.
Tepat pukul 11 malam Bram serta Astrid sudah sampai di rumah sakit yang sudah di beritahukan oleh pihak polisi, dirinya sedang menunggu kabar dari dokter yang menangani Bara.
Cit!
Pintu ruang UGD terbuka lebar yang menampilkan Bara yang masih tenang dengan alam mimpinya, entah itu alam mimpi atau raganya hilang entah kemana.
"Maaf, sus. Kenapa anak saya di bawa keluar ruang UGD?" tanya Astrid yang tak kuasa menahan air matanya dirinya tak kuat melihat kondisi Bara saat ini.
"Kami ingin memindahkan Pasien ke ruangan rawatnya, untuk lebih lanjutnya bapak, serta ibu bisa tanyakan langsung pada dokter." jawab suster tersebut dengan nametag Syifa.
"Baik, sus. Berikan berawatab terbaik untuk anak saya,"
"Iya, Bu."
Suster tersebut dan beberapa suster lain membantu membawa Bara ke ruang rawat.
"Bapak dan ibu bisa ikut saya?" tanya Dokter Fika yang baru saja keluar dari UGD.
"Bisa, Dok." jawab Astrid dan langsung mengikuti langkah kaki Dokter Fika.
Sesampainya di ruangan Dokter Fika, Dokter Fika mempersiapkan duduk.
"Sebelumnya saya minta maaf atas kondisi Bara saat ini, kondisinya cukup memburuk ketika baru saja di bawa ke sini. Saya juga minta maaf jika kondisi Bara sekarang sedang kritis, saya juga bukan tuhan tapi jika dalam satu hari Bara semakin memburuk maka nyawa Bara akan melayang." ucap Dokter Fika memperjelaskan semua yang terjadi oleh Bara.
"Apa?!" pekik pelan Astrid dirinya tak sanggup melihat putra pertama satu-satunya.
"Lakukan apapun untuk membuat anak saya membaik," ucap Bram dingin dirinya tak mu jika anaknya sedang dalam kondisi seperti ini.
"Kami akan lakukan semampu kami, Pak. Untuk bapak dan ibu berdoa saja, semoga besok ada keajaiban."
"Aamiin," jawab Bram dan Astrid bersamaan.
Dokter Fika mulai meninggalkan Bram dan Astrid, mereka berdua masih menunggu Bara yang masih disiapkan oleh para suster.
Rasanya Astrid masih tidak percaya bahwa punya sedang bertaruh nyawa antara hidup dan mati. Astrid selalu menyalahkan dirinya sendiri, ibu yang bodoh! Seharusnya dirinya dan Bara di dalam satu ruangan, kenapa harus putranya?
"Tuhan, aku tau bahwa Putraku akan selamat. Berikan dia kesembuhan, biarkan dia sadar." batin Astrid menjerit hatinya sungguh sakit.
••••••
Suasana hati begitu kalut, rasa khawatir mulai muncul, rasa gelisah pun begitu. Ingin sekali Queen menelfon Bara, walaupun dirinya tau bahwa tidak akan pernah diangkat oleh Bara. Dirinya tidak pernah membenci siapapun apa lagi membenci Bara, seseorang yang pernah mengisi hatinya walau hanya sementara.
Terkadang Queen ingin sekali berhenti bernafas, namun seakan ada yang menarik dirinya untuk tidak meninggalkan Dunia ini. Rasa sakitnya begitu dalam untuk Queen, jika dirinya tak pernah di takdirkan untuk Bahagia mengapa dirinya selalu mendapatkan sakit hati?
Nadilah menatap sendu Queen dari bilik pintu kamar Queen, melihat kondisi Queen dengan keadaan rapuh ini semua membuat dirinya seakan ibu bodoh! Ibu yang membiarkan anaknya menanggung beban sendiri. Rasa ingin memeluk tubuh mungil putri satu-satunya namun dirinya tau bahwa putrinya perlu waktu sendiri.
Nadilah menutup kembali pintu kamar Queen setelah itu langsung mengambil ponsel untuk menghubungi Astrid.
Astrid
"Halo, kenapa Dilah?" ucap Astrid di sebrang sana dengan suara dengan amat pelan namun membuat orang terluka.
"Kamu tidak apa-apa? Mengapa suara mu begitu menyakitkan?" tanya Nadilah.
"Bara, Dil! Bara!"
♡ Queenara Aurelia ♡
Haihaihai.....
Ketemu akohh lagi nihh, maap baru bisa up and up satu dulu duanya nyusul okeh? Oke dong.
Nadia Lestari
Jakarta, 5 April 2023 (Published ulang)
KAMU SEDANG MEMBACA
Queenara Aurelia
Teen FictionJudul sebelumnya : Akhir Dari Sebuah Penantian "Terlalu sakit untuk dijelaskan. Terlalu rumit untuk diungkapkan." Nyatanya kisah mereka tak seindah apa yang mereka harapkan. Lalu apa yang akan mereka lakukan nanti nya? Cerita ini dimulai kembali den...