Part. 28

7.6K 387 21
                                    

Aku kembali kerumah ibu setelah kepergian tante Rara. Ya siapa tahu ibu perlu bantuan mengurus Zubair. Walaupun aku akui, aku memang tidak ada pengalaman mengurus anak bayi. Karena aku anak bungsu, aku gak punya adik yang aku urus. Begitu juga dengan anak para keponakanku. Mereka semua jauh dan jarang bertemu denganku. Paling juga ketemu cuma berapa hari.

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam"

Aku masuk, Zubair kulihat tengah tertidur di kasur bayinya yang diletakkan diruang tamu. Ibu sedang menjaganya sambil menonton televisi.

"Mas Bram mana bu?"

"Dikamar kayaknya Vi. Coba kamu cari"

Aku langsung menuju kamar tempat Zubair, kamar Sari dulu. Mas Bram tidak disana. Aku menuju kamarku dan mas Bram. Mas Bram tengah duduk.

"Mas. Kenapa ngelamun?"

"Mas gak melamun dek"

"Terus ngapain disini? Duduk diem aja"

"Sebenarnya mas merasa bersalah pada Sari"

"Maksudnya?"

"Ya mas tidur gitu aja. Pules banget gitu, mungkin aja kan kalo Sari merasa sakit tapi mas gak kebangun? Dan justru saat mas terbangun dia udah gak bangun lagi"

Aku diam mendengarkan penjelasan mas Bram. Jadi Sari pergi gitu aja? Tanpa ada yang menemani dan tahu bahwa itu saat-saat terakhirnya. Mendadak aku merasa sedih, bagaimana jika aku ada diposisi Sari?

"Mas merasa sangat tidak berguna sebagai suaminya"

Aku memeluk mas Bram. Walau bagaimanapun rasa cemburuku itu ada. Tetapi itu sudah menjadi hal yang harus kutelan cepat. Aku mengerti bahwa Sari berhak seutuhnya atas hal itu.

"Sudah mas. Mau bagaimanapun, Sari gak akan kembali mas. Jangan menyalahkan diri sendiri. Zubair yang harus mas fikirkan sekarang"

"Iya dek. Tapi adek gak ngerti apa yang jadi beban mas sekarang"

"Iya. Adek memang gak paham. Tapi, kita cuma manusia biasa mas. Kita bukan Allah, yang selalu bisa ngejaga semua hambanya. Kita lemah mas, dan kita banyak melakukan kesalahan"

Mungkin mas Bram butuh waktu sendiri. Jadi, aku melangkah menjauh dari kamar. Biarlah dia menenangkan fikirannya.

"Dek.."

"Makasih ya"

Aku keluar dari kamar setelah mengangguk dan tersenyum padanya. Aku menemui ibu diruang tamu.

"Zubair masih tidur bu?"

"Iya. Anak bayi memang begitu. Masih banyak tidurnya"

Aku mengangguk saja dan ikut duduk dengan ibu. Sekedar ikut menonton tv atau memperhatikan Zubair yang menggemaskan.

"Vi.. kamu mau ngurus Zubair?"

Aku diam, berfikir apakah aku mampu jika aku yang mengurusnya? Apa aku bisa jadi ibu yang baik buat dia?

"Gimana Vi? Ibu sebenernya ingin mengurus Zubair. Tapi ibu gak mau egois untuk kedua kalinya. Ibu tau kamu belum berpengalaman, jadi kalian tinggal disini. Biar kamu liat ibu, dan ibu ajarin ngurus Zubair. Setelah itu, kamu bisa bawa Zubair kerumah"

Aku hanya diam saja. Aku setuju dengan omongan ibu. Biarlah aku belajar dulu untuk mengurus Zubair.
Dan semoga aku bisa menjadi bunda yang baik untuk Zubair.

********

"Eh Vi, bawa Zubair jangan kayak gitu. Nanti bisa jatoh, satu tangannya dari depan, kayak gini"

Ibu memberi contoh dengan mengambil Zubair dariku. Dan aku mengerti sekarang.

"O iya, nanti sore kamu yang mandikan Zubair ya. Kan tadi pagi udah ibu kasih liat"

Aku mengangguk setuju. Semua ini baru buatku, dan aku merasa semua ini tidak akan semudah bayanganku dulu. Tapi, semoga gak serumit yang ada difikiranku.

Akhirnya mulai dari hari itu, aku belajar bagaimana mengurus bayi. Ya karena Zubair memang masih bayi. Mulai dari menggendong dengan benar. Memandikan dengan benar, dan lain-lain hal yang dirasa perlu aku ketahui. Dan benar, hal itu memang gak mudah, tapi juga gak serumit itu. Semangat Vi..

Dan sekarang kami sudah berada dirumah. Bertiga dengan Zubair, sebenarnya ibu sedih karena Zubair kami bawa. Tetapi karena jarak rumah kami gak jauh, ibu bisa berkunjung kapan saja.

Meskipun Zubair bukan anakku, aku sangat menyayanginya. Dan aku bahagia memiliki dia dihidupku. Alhamdulillah ya Rabb, dan terimakasih untukmu Sari. Semoga engkau berbahagia disisi-Nya.

"Mas ayok pergi, nanti keburu siang ini"

"Iya dek sabar"

Mas Bram yang kebetulan tengah berlibur dihari minggu ini, harus kuganggu untuk mengantar aku dan Zubair ke posyandu. Karena hari ini jadwal imunisasinya.

Setelah mas Bram siap, kami segera pergi ketempat posyandu berlangsung. Melakukan registrasi, dan menunggu giliran nama Zubair disebut.

Setelah acara timbang berat badan, tinggi badan, dan suntik vaksin, kami segera kembali kerumah.

"Dek, kamu gak papa ngurus Zubair kayak gini?"

"Ya gak papa lah mas. Emang kenapa?"

"Ya..Zubair itu kan bukan anak kamu"

Aku merasa tercubit dengan pernyataan itu. Apa harus mas Bram mengingatkan aku akan hal itu.

"Bukan dek, bukan gitu maksud mas"

"Zubair itu kan anak Sari, apa kamu gak benci sama dia?"

Aku masih tetap diam mendengar pertanyaan mas Bram. Apa dia pikir aku membenci Zubair karena dia anak maduku. Padahal tak pernah terbesit sedikitpun perasaanku untuk membencinya. Bagaimana mungkin aku membenci bayi manis ini?

"Ya gak lah mas. Emang mas kira aku kayak pemain di tv yang antagonis gitu"

Kubalas pertanyaan mas Bram dengan tawa kecil. Sedang tanganku masih menggoyang ayunan Zubair. Karena dia tadi menangis setelah disuntik, dan ini juga sudah jam tidurnya.

"Ya, mas cuma kepikiran aja dek. Tapi mas seneng kalo adek sayang sama Zubair. Terimakasih ya sayang"

Aku tersenyum, semoga tidak ada lagi gangguan dirumah tangga kami. Kalau sampai ada orang ketiga lagi diantara kami, aku mungkin tak akan lagi sanggup. Apalagi jika orang itu tak sebaik dan setulus Sari.

"Hey.."

"Liat deh mas. Zubair lucu banget boboknya. Masak senyum-senyum sendiri"

Aku menunjuk kedalam ayunan, dimana Zubair sedang bobok manis. Dan tak terasa dia semakin bertambah imut, badannya makin berisi seiring pertambahan usia. Tingkahnyapun semakin lucu, membuatku gemas padanya.

Sekarang dia belajar tengkurap. Usianya menginjak empat bulan. Dan waktu memang gak terasa berjalan secepat ini. Kehadiran Zubair benar-benar melengkapi keluarga kecil kami. Dan aku tak peduli lagi apa kata orang diluar sana.

Aku tak peduli dengan tuduhan miring yang mereka sematkan untukku. Aku bukanlah orang seperti itu, memanfaatkan Sari demi mendapat anak. Dan aku membunuh Sari? Apa aku sudah segila itu? Aku masih ingat Tuhan. Dan aku masih ingat dengan pengadilannya. Tak mungkin bagiku untuk menghilangnkan nyawa orang. Kalaupun aku bisa, mereka yang bermulut nyinyir itulah yang akan aku habisi...haha

Aduh Vi, jangan ngayal aneh-aneh. Biarin aja Allah yang beri peradilan yang paling adil.

.
.
.
.

Up ya..
Maaf pendek,

Selamat membaca, dan selamat menunggu part selanjutnya..hehe

Semoga kita selalu sehat, dimurahkan segala rezeki..aamiin

Indahnya Dimadu? | SELESAI |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang