Part. 30

8.3K 403 19
                                    

"Mas berangkat dulu ya sayang.. nanti dihabisin ya sarapannya"

Mas Bram memelukku seperti biasa, mencium pipi dan dahi seperti biasa. Dan aku membalasnya seperti biasa, namun aku sangat tak bersemangat untuk bersuara.

"Assalamu'alaikum, love you sayang" mas Bram mencium keningku sekali lagi, sebelum dia benar-benar pergi.

Aku menjawab salam dengan lirih. Sungguh aku sangat bersedih ya Rabb.

Aku tak tahu mau apa, bahkan untuk melirik sarapanku yang sedari tadi hanya berkurang sedikit saja aku tak berselera.

Aku berada dirumahku saat ini. Karena setelah subuh tadi aku menajak mas Bram pulang, baju seragamnya ada dirumah. Aku menyuruhnya tetap berangkat kerja, walau awalnya doa menolak. Tetapi akhirnya dia menuruti omonganku. Aku hanya tak ingin dia melihatku saat aku masih bersedih.

Ya Allah, aku selalu kepikiran Zubair. Dikamar masih harum rasanya wangi Zubair. Kami biasa bermain bersama, dan aku biasa kesal dengannya.

Sekarang tak ada lagi yang membuat aku kesal. Yang membuat aku lelah, harus membereskan pakaian yang berserakan dimana-mana, begitu juga mainan-mainan yang berhamburan. Aku merasa sepi, hampa. Aku benar-benar gak tau harus ngapain.

Dan semakin kupikirkan, semakin sesak rasa dihatiku. Semua ini karena aku? Aku lalai menjaga Zubair, seandainya aku tak melepaskan dia ya Allah.. bagaimana ini? Mengapa hamba sulit untuk mengikhlaskan?

Ibu, maafkan karena aku kau kehilangan Zubair. Sedang aku belum bisa memberi gantinya. Atau mungkin aku tak pernah bisa. Mas Bram, maafkan adek. Karena adek, sekarang tak ada lagi yang memanggilmu papa. Tak ada lagi seseorang yang bisa kau ajak bermain dan bercanda sebagai penghilang lelahmu. Maafkan adek.

Sari... kuharap kau mau memaafkan aku. Aku tak bisa menjaga Zubair dengan baik. Kau telah salah menitipkan Zubair padaku. Tolong maafkan aku.

Aku meraih secarik kertas dan sebuah bolpoin. Mungkin ini adalah keputusan bodohku untuk yang kesekian kalinya. Tapi aku gak bisa ngeliat kalian sedih karena aku lagi. Mungkin memang lebih baik aku tak ada dikehidupan kalian mas, ibu.

**********

Didepan mama, aku bisa kembali meluapkan air mataku. Segala kesedihan dan penyesalanku.

"Kenapa Vi? Kok kamu datang tiba-tiba nangis gitu"

"Via kayaknya emang gak pantes ya ma jadi ibu?"

"Kamu ngomong apa sih Vi. Zubair mana? Apa mertua kamu itu gak bolehin kamu ketemu Zubair lagi?"

"Vi, jawab dong. Jangan nangis mulu"

"Zubair udah gak ada ma...."

"Maksud kamu apa?"

Dengan segenap usaha aku menceritkan semua pada mama. Disela-sela tangisanku, aku mengatakan apa yang terjadi pada Zubair.

"Kok kamu gak kasih tau mama? Memang mama ini gak boleh jadi neneknya Zubair juga? Kalian ada hal sebesar ini kok diem aja"

Aku baru sadar bahwa aku memang tak mengabari mama sama sekali. Aku bahkan tak mampu berfikir saat itu. Jangankan untuk menyentuh ponsel, aku bahkan tak berniat untuk sekedar menggerakkan badanku.

"Maaf ma"

"Bram juga gak ada kabar sama sekali. Trus mana Bram sekarang? Kenapa dia gak ada disaat kamu seperi ini?"

"Mas Bram kerja ma, Via yang nyuruh. Via gak mau mas Bram mikirin kondisi Via, dia pasti sudah sangat sedih ditinggal Zubair"

"Vi..Vi... kamu itu kenapa sih. Malah nyuruh Bram kerja segala. Kamu jangan pura-pura kuat. Lagian juga Bram harusnya tau, kamu baru ditinggal anak, pasti lah sedih. Siapa yang gak sedih coba"

Mama meneteskan air mata. Mungkin dia ingat Zubair. Sebenarnya dulu mama gak suka waktu tau aku mengasuh Zubair. Tapi seiring waktu, mamapun menganggap Zubair cucu sendiri. Mungkin karena mama melihat aku bahagia memiliki Zubair.

"Via ngerasa semua ini karena Via ma. Ini semua salah Via"

"Hust..gak boleh nyalahin diri sendiri. Semua ini sudah takdir Vi"

"Trus sekarang kamu ngapain kesini? Bram tau kamu kesini?"

"Mas Bram gak tau, Via pergi cuma kasih surat buat mas Bram. Tolong ma, Via rasanya belum bisa untuk ketemu mas Bram dan kembali kesana. Via keinget Zubair terus ma"

"Ya udah kamu disini aja dulu"

**********

"Dek..ada apa sih? Adek kenapa?"

Tok tok tok..

"Dek, gak cuma adek yang sedih. Tapi mas gak paham dengan cara berpikir adek yang kayak gini. Maksud adek apasih?"

"Dek, buka pintunya. Mas mau ngomong"

Untuk kali ini, aku tak menghiraukan perkataan mas Bram. Sedari tadi dia minta bertemu, sudah kesekian kali pintu diketuknya, dan kalimat membujuk diutarakan. Tapi mas, aku masih pengen sendiri. Setiap ngeliat kamu, rasa bersalah selalu timbul dihatiku.  Jadi please mas, menjauhlah untuk sekarang.

"Bram, mungkin lebih baik kamu biarkan dulu Via sendiri. Nanti jika kondisinya sudah membaik, dan pikirannya sudah jernih, dia pasti bakal nemuin kamu"

Tak kudengar sahutan dari mas Bram.

"Sekarang lebih baik kamu pulang, bukan mama ngusir kamu ya. Tapi dengan kondisi Via yang kayak gini, rasanya gak bisa kamu terus menerus disini. Karena Via gak ingin bertemu kamu untuk sekarang"

Kudengar langkah kaki menjauh, dan tak lama terdengar deru mobil yang semula jelas, hingga terdengar samar dan menghilang. Maaf mas, adek belum bisa menemui mas. Mas gak akan kehilangan adek. Adek janji, tetapi entah apakah adek bisa selalu membersamaimu dengan keadaan adek yang kayak gini.

Aku kembali merebahkan diri dikasur. Kerjaanku cuma tiduran, paling bangun buat solat. Bener-bener gak semangat buat ngapa-ngapain. Apa aku terlalu lebay? Tetapi memang setahuku tidak boleh terlalu bersedih untuk musibah yang kita hadapi. Kita harus tetap yakin bahwa pasti ada saatnya kita bahagia.

Aku keluar kamar, mencari sosok mama di rumah. Tetapi gak ada ketemu. Padahal baru aja dia ngobrol sama mas Bram. Mama kemana?

"Ma.."

"Mama..."

Tidak juga ada sahutan dari mama. Aku keluar lewat pintu belakang. Dan pemandangan sayur mayur membuatku heran. Sejak kapan mama bercocok tanam? Kalo kayak gini aku bakalan betah kayaknya disini.

"Ma, sejak kapan punyi hobi berkebun?"

"Sejak kamu belum lahir"

"Ih mama, Via tanya betul betul"

"Sejak mama mulai bosan dirumah sendirian kalo habis ngajar. Kamu kan gak pernah bawa Zubair maen kesini"

Zubair lagi...aku gak mungkin lupa..

"Vi, sudah ya. Biarkan Zubair disana. Dia pasti bahagia. Kamu disini juga harus bahagia nak"

Aku mendengarkan mama, namun aku tak berkata apa-apa. Aku ikut berjongkok, memberaihkah rumput liar diarea tanaman tomat.

"Kamu tahu Vi? Bram juga terlihat menyedihkan. Apa kamu gak kasian sama dia? Dia sudah kehilangan Zubair, sekarang kamu malah menjauh juga"

"Mau gimana lagi ma" aku tak tahu apa yang mesti kukatakan. Aku bahkan gak bilang sama mama kalau aku menyuruhnya menikah kembali. Ini mungkin memang keputusan yang buruk, tapi tak lebih buruk dari perasaanku saat ini.

.
.
.
.

Up ya..

Enjoy the story, padahal author bilang mau cepet namatin nih cerita. Tapi kayaknya masih bakal muncul beberapa part lagi kedepan..wkwk

Semoga kita selalu sehat, dilimpahkan rezeki..
Dan dilimpahkan rasa syukur atas segala nikmat yang telah Allah beri...aamiin..

Indahnya Dimadu? | SELESAI |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang