Part. 10

8K 331 3
                                    

"Kalau memang Bram gak bisa kesini. Ya kamu aja yang kesini bisa kan Vi. Kalian pasti sengaja ya gak mau mama tau. Mama tau kok Vi, Bram selingkuh kan. Lagian coba cek yang bener. Paling itu Bram yang mandul"

"Mama. Kan Via udah bilang jangan nuduh mas Bram yang enggak-enggak. Lagian kami itu baik-baik aja ma, kan mama tau aku sama mas Bram udah periksa ke dokter"

"Terserah kamu deh Vi"

Dan sambungan telpon terputus. Sepertinya mama marah. Ya, aku tadi mengabari nya sebelum berangkat ke bandara kalau kami tidak bisa datang. Sebab mas Bram harus pergi keluar kota dan menunda cuti karena hal mendesak.

Sekarang kami tengah berada di bandara. Aku dan Sari mengantar kepergian mas Bram.

"Ya udah kalian pulang aja. Nanti mas kabari kalau sudah sampai"

Aku dan Sari menurut saja. Bergantian kami mencium tangan mas Bram. Dan berpamitan dengan mengucap salam. Sebenarnya aku paling gak suka kalo harus ngantarin ke bandara. Karena gak bisa peluk-peluk, cium-cium dan mesra-mesraan sebelum berangkat. Hehehe...secara kan ini tempat umum.

Kami berada dimobil sekarang. Aku yang jadi supir, hehe. Karena Sari tak bisa mengendarai mobil katanya. Gak papa deh, kalo capek nanti bisa berenti dulu. Perjalanan dari rumah kami sekitar 3 jam menuju bandara. Lumayan ya.

"Kamu keliatannya pucat, kamu sakit Sari?"

"Enggak kok mbak, cuma sedikit pusing aja ini"

"Ya udah kamu tidur aja. Biar gak pusing lagi"

Sari hanya mengangguk dan tersenyum, lalu dia memejamkan mata.  Entahlah, sepertinya dia sedang tak enak badan. Dan jika kuperhatikan, sepertinya ia gelisah akan sesuatu. Namun aku tak berani bertanya padanya.

"Sari, kita sarapan dulu yuk. Kamu kayaknya lemes banget"

Aku menggoyang sedikit tangannya. Setelah ia membuka mata, kuulangi ucapanku tadi.

"Kita langsung pulang aja mbak. Nggak usah sarapan disini"

"Tapi kamu pucat banget loh Sar, nanti kamu makin sakit kalau gak makan"

Tapi dia tetep menggeleng, yah baiklah dia keras kepala. Sepertiku juga ternyata, hehehe.

Perjalanan masih satu jam. Sari kembali memejamkan mata. Sementara aku menikmati jalanan. Sekedar melihat tiang, bangunan, ataupun rumput liar di kanan kiri jalan.

Setelah beberapa lama yang cukup membosankan akhirnya sampai juga.

"Sari...kita sudah sampai. Ayo bangun" aku goyangkan lengannya. Iapun membuka mata.

"Makasih ya mbak, udah antarin kerumah" ucapnya seraya turun.

"Gak perlu makasih lagi, kayak sama siapa aja"

Saripun hanya tersenyum dan berbalik menuju pintu rumah. Namun belum ia meraih pintu badannya oleng dan hampir jatuh. Aku yang memperhatikan ia dari mobil segera turun menyusulnya.

"Kamu gak papa? Kalau kamu sakit mending nginap tempat mbak aja. Atau mau mbak antar tempat ibu?"

Ia menggeleng lemah dan menjawab tak perlu kulakukan itu. Akhirnya ku bantu dia berjalan. Namun baru beberapa langkah ia jatuh pinsan. Aku yang tak kuat menahannya pun terduduk dan kubaringkan kepalanya di pahaku.

Aku jadi panik dan berteriak tolong. Mendengar teriakanku, tetangga sekitarpun melihat apa yang terjadi.

"Kenapa ini mbak Sarinya mbak?"

"Gak tau tiba-tiba pinsan pak. Bisa tolong bantu saya angkat ke mobil. Biar saya bawa ke klinik"

Aku meminta tolong pada pak Supri, tetangga sekaligus pemilik kontrakan yang Sari tempati.

Setelah Sari dipindahkan ke dalam mobil oleh pak Supri dan satu orang lainnya yang aku tak tau siapa namanya. Aku berterimakasih pada mereka. Dan membawanya meninggalkan rumah Sari.

Sampai di klinik aku langsung meminta tolong pada petugas di UGD. Hampir 20 menit diperiksa dokter, akhirnya aku diperbolehkan untuk melihat keadaan Sari. Dia masih terlelap.

Dokter yang masih diruangan mengatakan kalau Sari kelelahan dan dehidrasi. Dia juga mengatakan kalau Sari tengah hamil dan usia baru 2 minggu. Jika tidak mendapat asupan yang cukup, itu akan berbahay bagi bayinya dan juga Sari sendiri.

Deg...

Aku merasa lemas sendiri. Entahlah, apa karena belum makan atau bagaimana. Atau mungkin karena mendengar kabar kehamilan Sari? Apa aku merasa iri padanya? Dan merasa betapa tidak beruntungnya aku?

Istigfar Via. Kendalikan perasaanmu. Bukankah hal ini pasti terjadi? Iya aku tau, aku hanya merasa kenapa untukku Dia belun juga memberikan kabar gembira ini? Apa memang aku tidak pantas menjadi seorang ibu?

Astagfirullah....Ya Rabb, jadikanlah hamba ini hambamu yang sabar, dan selalu sabar. Serta jadikan hamba orang yang pandai mensyukuri nikmat. Buatlah hati hamba lapang untuk menerima semua takdirmu. Hamba mohon ya Allah.. semua ini gak mudah bagi hamba.

Setetes air mata menuruni pipi. Segera kuhapus, dan mencoba tersenyum untuk semua yang terjadi.

"Mbak, kita dimana?"

"Kita diklinik"

Sari nampak sedikit terkejut.

"Kamu tadi pinsan. Kan sudah mbak bilang, ayo kita mampir sarapan dulu. Kamu gak mau kan jadi begini"

"Maaf mbak"

"Aku belikan kamu makan ya, kamu harus mengisi perut"

"Jangan mbak, ayo kita pulang aja"

"Gak bisa, kata dokter kamu harus rawat inap"

Dia hanya terdiam.

"Kamu tau gak kalo kamu sedang hamil?"

Dia seperti cemas dan mengangguk saja.

"Kalo tau kenapa tadi gak mau makan. Nanti bayi kamu kurang nutrisi. Kamu juga lemes gitu"

"Mau kemana mbak" tanyanya saat aku akan keluar ruangan.

"Cariin kamu sarapan, mau makan apa?"

"Terserah mbak aja"

Ya sudahlah, aku tak tau apa kesukaannya. Kubelikan saja apa yang ada di dekat klinik ini.

Baru beberapa langkah, terbersit rasa takut dihatiku. Akankah kasih sayang mas Bram tetap padaku?

Padaku? Ia padaku, yang sudah 7 tahun lebih belum bisa memberinya keturunan. Aku takut. Aku sungguh takut ya Allah. Semoga semua tetap baik-baik saja, walau aku tak yakin akan hal itu.

.
.
.

Lama up ya, maafin saya.hehe

Semoga kita tetap sehat..

Indahnya Dimadu? | SELESAI |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang