Chapter 7

1.1K 115 3
                                    

Sudah Jam 10 ketika para teman-teman Ken pulang. Karena saat itu ada pasien seorang balita yang panas tinggi dan harus ditangani segera oleh Che. Che masih dibawah dan belum pulang. Tapi Ken sudah merebahkan diri dikasur. Sudah 4 hari dia tidak memegang ponsel dan itu membosankan. Apalagi ketika kepalanya sudah lebih baik dan tidak banyak tidur.

Ken menuju salah satu kardus yg ditumpuk dekat lemari. Isinya buku-buku. Mungkin harusnya buku-buku itu disusun di rak buku yang sudah diletakkan disamping pintu balkon. Karena itu Ken berinisiatif menyusun buku-buku itu. Kebanyakan buku-buku kedokteran yang Ken tidak mengerti. Diantara buku-buku itu ada sebuah novel. Dari sampulnya jelas novel itu adalah Boy Lover. Ken melihat sinopsis di halaman belakang novel itu. Tapi bersamaan dengan itu Che masuk. Ken menoleh.

"Kamu belum tidur?" Tanya Che
"Belum, aku sedikit bosan, aku melihat buku didalam kardus, benar kan kalau aku susun disini?"
"Kamu nggak usah repot-repot, aku bisa melakukannya saat libur nanti," kata Che membuka pintu lemari dan mengambil piyama. Dan kearah balkon mengambil handuk. Tapi dengan wajah yang sama sekali tidak ramah.

"Apa phi marah aku menyentuh barangmu?"
"Nggak, kenapa mikir gitu?"
"Wajah phi kayak gitu,"
"Kayak apa?"
"Kayak aku melakukan kesalahan,"
"Itu perasaanmu aja. Aku malam ini tidur disini lagi. Aku ada dibawah kalau kamu perlu sesuatu," kata Che kemudian keluar kamar. Ken menatap dengan bingung dan kesal. Dia membanting novel yang dipegangnya ke meja. Bahkan dia masih kesal dengan kejadian tadi siang, ditambah Che marah tanpa sebab membuat Ken emosi.

***

Che baru selesai mandi ketika dia mendengar ada suara kunci pintu yang dibuka. Che menghampiri pintu depan, disana sudah ada Ken yang bersiap keluar.

"Kamu mau kemana?"

"Keluar sebentar, Phi,"
"Mau ngapain?"

"Aku mau beli minuman, aku harus minum, sudah hampir 5 hari aku nggak minum,"

"Aku nggak ngijinin kamu keluar, ini jam-jam geng motor itu berkeliaran ken, kamu bisa ketemu mereka,"

"Cuma didepan situ aja, nggak jauh,"

Che menghampiri Ken dan kembali mengunci pintu. Dia mengambil kuncinya dari pintu.

"Aku nggak ijinin kamu,"

"Phi, mungkin phi emang nyelametin nyawa aku, tapi itu karena phi itu dokter, jangan berfikir aku akan berhutang budi padamu, dan menuruti maumu, kamu bukan siapa-siapa aku, aku akan membayar semua perawatan ini, bahkan sampai biaya makanku!" Kata Ken.

"Ken, aku juga nggak berfikir kalau aku siapa-siapa kamu, aku emang bukan apa-apa buatmu, aku cuma nggak mau usahaku sia-sia, biarpun kamu berandalan, kamu adalah manusia, dan sumpahku adalah menolong manusia! Seenggaknya, tunjukkan bahwa dirimu nggak pantes dibuang!" Kata Che penuh amarah dan mendorong Ken. Dia segera kembali keruangan periksa dan membanting pintunya.

Ken menatapnya dengan kesal. Lalu memukul tembok disampingnya. Kenapa perasaannya jadi acak-acakan seperti ini. Sejak dari rumah sakit perasaannya memang tidak terasa baik. Dan membuat kepalanya yang masih cidera itu terasa sakit. Ken terduduk di lantai klinik memegang kepalanya. Dia ingin meminta tolong pada Che tapi baru saja dia bahkan membuat Che marah. Ken tak pernah takut pada siapapun. Bahkan oleh orang yang akan membunuhnya. Tapi kini Ken takut pada Che. Pada tatapan Che. Ken takut Che marah dan tidak akan peduli lagi padanya. Tapi kata-katanya yang dia katakan seperti memancing hal itu terjadi.

"Phi..." Bisik Ken.

***

Che terduduk kesal dilantai ruangannya. Mengusap-usap wajahnya mencoba menetralkan hatinya. Kenapa aku harus berurusan dengan berandalan kayak dia! Harusnya aku tahu kalau dia tetap aja berandalan yang nggak tahu terima kasih. Pikir Che kesal. Perlahan dia mulai menyalahkan diri kenapa bisa sempat berfikir tertarik dengannya cuma karena fisiknya dan sedikit cerita tentangnya. Dia tidak tahu banyak soal sikap pria itu.

Che harus menetralkan diri dan berfikir hanya menganggapnya sebagai pasien. Ya. Dia cuma pasien. Dan dia cuma anggap aku dokter. Bukan siapa-siapanya. Jangan pernah menganggapnya lebih dari itu. Lagipula dia sudah punya orang yang dia sukai satu geng dengannya. Aku harus belajar memperlakukannya dengan biasa saja. Che terus berfikir mulai menenangkan diri.

Disaat sudah mulai tenang dia mendengar tidak ada suara dari luar. Che penasaran dan ingin melihat keadaan diluar. Dia berdiri dan membuka pintu melongok pda pintu tapi tidak ada siapa-siapa tapi matanya menangkap Ken meringkuk dilantai dengan memegangi kepala. Che menghampirinya.

"Kamu kenapa, Ken?"
"Kepalaku.. "katanya terlihat kesakitan.
"Ayo bangun, naik ke sofa," Che mengangkat tubuh Ken dan membaringkannya di Sofa. Che ke ruang periksa dan mengambil beberapa peralatan untuk periksa.

Setelah memeriksa Ken. Che menyuntikkan obat pereda sakit padanya. Dan berangsur-angsur sakit Ken berkurang.

"Apa sakitmu berkurang? Apa kamu kuat untuk pindah keatas, agar obatnya bekerja dan kamu bisa tidur," Tanya Che.

"Aku tidur disini nggak apa-apa, phi!"

"Disini nggak nyaman, lbih baik ke kamar, kalau kamu nggak kuat biar aku gendong,"

"Hah?"

"Biarpun cuma dokter, aku ini kuat, lihat ototku dan ototmu juga lebih besar ototku!" Kata Che menunjukkan Bisepnya.

Che membalikkan tubuhnya. Mengisyaratkan Ken untuk naik ke punggungnya.

"Nggak usah phi, biar aku jalan saja,"Ken bangun sambil memegang kepalanya.

"Nggak usah keras kepala. Naiklah!" Kata Che memerintah.

Ken naik ke punggung Che. Dan Che dengan mudahnya menggendong Ken membawanya ke lantai 2.

Sesampainya dikamar, che membaringkan tubuh Ken.

"Istirahatlah supaya sakitmu mereda.." Kata Che sambil duduk dipinggir kasur disamping Ken.

"Phi..."

"Hmm.."

"Maafin aku.."

Che diam menatap Ken.

"Maaf karena bicara yang enggak-enggak..."

Baru saja Che meyakinkan diri untuk tidak menganggapnya spesial. Tapi anak ini justru melakukan ini seperti sedang mencairkan hatinya.

"Aku nggak ada maksud apa-apa,"

"Jangan minta maaf, kamu nggak salah, kamu benar, aku terlalu jauh ikut campur pribadimu, padahal aku nggak ada hak,"

"Bukan begitu, Phi..."

"Tapi benar Ken, aku bukan siapa-siapa kamu, aku cuma doktermu aja, aku yang kelewatan, aku juga minta maaf ya?"

Ken menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Dia tahu, sudah tidak ada harapan apapun untuk menjadi berarti bagi dokter ini. Perlahan Ken menjadi minder, kenapa dia berani memiliki perasaan padanya. Dari level kehidupan mereka saja sudah jauh berbeda. Che dari orang berpendidikan dan terhormat sementara Ken hanya berandalan sampah masyarakat. Bagaimana bisa berharap bersama? Mimpimu terlanjur tinggi, ken, hingga saat sadar, kamu terjatuh dan merasa sakit yang teramat sangat. Bisik hati Ken. Kebaikan Che membuatnya lupa bahwa orang-orang berpendidikan seperti dia yang membuat Ken terluka dan menginjak-injaknya.

dr.KenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang