Chapter 1

2.5K 164 7
                                    

Suara ramai dari luar terdengar mengganggu konsentrasiku. Aku masih harus menyelesaikan menghitung stok obat yang harus aku beli besok untuk persiapan jika ada pasien yang datang.
Ini adalah hari ke 7 aku praktek disini karena sebelumnya aku bekerja di sebuah rumah sakit. Tapi aku beranikan diri membuka klinik agar aku bisa menetapkan harga untuk setiap yang datang berobat. Kadang aku kasian jika ada orang tidak mampu yang harus membayar mahal untuk biaya dokter dan akhirnya mereka hanya menebus setengah dari obat yang dianjurkan. Jika aku membuka klinik sendiri, aku bisa bebas menetapkan harga. Bahkan mungkin bisa ku gratiskan jika aku anggap mereka benar-benar layak dibantu.
Tapi tenyata klinik tempatku praktek benar-benar sangat tidak nyaman.
Jika pagi sampai sore, lingkungan disini sibuk seperti biasa. Seakan semua normal dan baik-baik saja. Tapi jika sudah memasuki jam 10malam banyak motor berkumpul seperti berkumpul diseberang klinikku. Mereka minum-minum dan terkadang sangat berisik. Malah beberapa malam lalu mereka membuat keributan karena pertengkaran dengan anggota geng lain.
Aku sempat mencari tahu tentang geng motor itu pada orang sekitar, karena aku kuatir mereka akan berbuat tidak baik padaku atau klinikku seperti mencuri atau merampokku. Tapi ternyata mereka tidak pernah membuat masalah disekitar klinikku praktek. Toko dan rumah disekitar klinik tak pernah mengalami pencurian. Hanya saja ada rumor bahwa Geng mereka ini malah terlibat dengan obat-obat terlarang dan tawuran. Mereka suka menyerang kelompok lain. Karena itu tak jarang mereka diserang balik dan keributan disana bisa terjadi seminggu sekali.

Jujur saja aku merasa tak begitu nyaman karena ini. Biarpun mereka tidak mengganggu secara langsung padaku. Tapi kebisingan yang mereka buat. Kekerasan didepan mataku. Aku tak bisa melihatnya. Tapi aku sudah menyewa klinik ini selama setahun. Dan uangku habis jika harus menyewa tempat lainnya. Bahkan aku berencana tinggal dilantai 2 klinikku mulai lusa agar menghemat pengeluaran bolak balik pulang kerumah. Karena kebetulan klinik ini terdiri dari dua lantai. Lantai atas kosong tapi aku berencana mengisinya agar tidak sia-sia. Tapi kalau keadaannya begini apa aku bisa istirahat nantinya?

Aku bersiap-siap setelah selesai mencatat daftar obat yang harus di beli besok dan keadaan diluarpun mulai tenang, menandakan aktivitas mereka sudah selesai. Tapi dari kaca klinikku aku melihat seorang pria terkapar didepan pintu klinikku. Dia terlihat terluka karena di lantai terlihat genangan darah. Aku sebenarnya tidak ingin terlibat dengannya. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan dan aku tidak mau terbawa-bawa dalam urusannya. Tapi naluri dokterku tidak bisa mencegah ini, aku harus menolongnya. Aku tidak mungkin membiarkan seseorang mati sia-sia didepan mataku.

Aku membuka pintu dan menghampiri pria itu. Aku berjongkok di sebelahnya.

"Nong.. kamu nggak apa-apa?" Tanyaku padanya, meskipun sebagian wajahnya tertutup darah, tapi aku tahu bahwa dia lebih muda dariku.

"To.. longg.." ucapnya lemah.

Tanpa pikir panjang aku segera mengangkatnya dan memapahnya untuk masuk kedalam klinikku. Sepertinya luka dikepalanya sangat parah. Darah banyak mengalir dari sana.

"Bertahanlah.. aku akan mengobatimu.."

Aku membaringkannya di kasur periksa. Mengambil beberapa peralatan dan mengenakan sarung tangan.  Saat kuperiksa kepalanya nampak terluka sangat dalam. Aku menahan area itu agar tidak banyak darah yang keluar. Pria itu nampak seperti meringis tapi antara kesadaran yang menurun. Aku membersihkan lukanya dan menyuntikkan anestesi padanya untuk melakukan penjahitan pada lukanya. Setelah selesai. Aku membersihkan sisa darah diwajah dan sekitarnya. Dia masih sadar tapi matanya terpejam. Entah kenapa mataku malah fokus menatap wajahnya. Dia sangat tampan..

"Dok.." tiba-tiba pria itu membuka mata menoleh padaku,
"Ada apa?"
"Oh maaf.. tadi darahmu banyak sekali, aku sedang memeriksa apa ada luka lagi, sebentar akan kupasangkan perban,"

Aku terkejut. Sangat. Dia menyadari bahwa aku sedang menatapnya. Aku sebenarnya sangat malu. Apa dia akan beranggapan macam-macam padaku?

Aku menetralkan hati dan memasang perban dikepalanya.

"Terima kasih dok, berapa aku harus membayar?"
"Sebaiknya hubungi dulu keluargamu, karena kamu nggak akan bisa pulang sendiri, kamu nggak baik-baik aja, seandainya ini klinik besar, kamu seenggaknya harus dirawat malam ini,"

Dia nampak diam memejamkan mata.

"Nggak akan ada yang peduli, dok, aku matipun mungkin nggak akan ditangisi,"
"Orang tuamu?"

Dia membuka mata dan menatapku.

"Termasuk mereka. Aku mungkin cuma anak yang menyusahkan buat mereka,"

Aku tidak bisa berkomentar apapun soal pribadinya. Karena aku takut terlalu jauh mencampuri hal yang bukan kapasitasku. Sekarang aku cuma bertanggung jawab bagaimana cara dia bisa pulang dengan aman. Karena dia tidak akan bisa kubiarkan pulang sendiri. Karena luka dikepalanya sangat parah. Aku yakin dia merasakan kesakitan. Tapi di klinikku tak punya ruangan inap. Ruangan yang sekarang aku berada adalah ruang periksa yang akan ku gunakan besok saat ada pasien datang.

"Apa kamu nggak punya teman dekat yang bisa menjemputmu? Karena kondisimu nggak memungkinkan kamu buat pulang sendiri,"
"Aku nggak tau mereka masih selamat atau nggak, hpku pun diambil orang-orang yang menyerangku,"
"Mereka siapa? Kenapa kamu diserang?" Perlahan rasa penasaranku tak tertahan
"Geng lawan, mereka suka merampok, aku gak masalah kalau mereka merampok orang kaya, aku benci mereka merampok pedagang kecil, jadi aku duluan yang menyerang, mereka nggak terima dan membalas,"
"Kamu bisa mati.."
"Setidaknya ada yg kuperjuangkan jika aku mati, karena nggak enak jika kita nggak diperjuangkan,"

Aku menatap anak ini. Kutebak usianya masih 20 tahunan, tapi sepertinya banyak yang dia alami sehingga dia melakukan hal ini bukan cuma bersenang-senang di usia mudanya.

"Siapa namamu?"
"Ken.."
"Kalau gitu Nong Ken, kamu lebih baik menginap dulu disini, dilantai atas ada kamar dan sebuah kasur, kamu bisa istirahat disana, jadi aku bisa tetap melihat perkembangan lukamu,"
"Apa nggak papa, dok? Kamu percaya aku? Karena nggak ada yang percaya sama aku, mereka pasti mikir aku berandalan yang suka buat ulah"
"Kalau gitu, aku orang pertama yang mempercayaimu," kataku tersenyum dan segera keluar ruangan untuk kelantai atas menyiapkan kasur untuknya.

Aku membantunya naik kelantai atas dan masuk kedalam kamar. Dia tampak memperhatikan sekeliling. Banyak tas dan kardus tertumpuk. Sebagian barangku memang sudah kubawa kesini karena lusa harusnya aku sudah pindah kesini.

"Maaf kalau berantakan, aku belum sempat merapihkannya, niatnya aku akan tinggal disini,"
"Berarti ini kamarmu? Jadi aku mengganggumu?" Ekspresinya nampak berubah.
"Nggak kok, aku belum disini, baru akan beberapa hari lagi, jadi bisa untuk kamu menginap sampai kamu lebih baik, dan terutama ada teman atau keluargamu yang menjemput,"

Dia mengangguk dan duduk dikasur bersandar pada tembok didekatnya. Kebetulan kasurku ini adalah kasur yang tidak memiliki dipan. Aku meletakkan kasurku dilantai karena aku sedikit mengirit belanja keperluanku. Aku lebih mementingkan membeli peralatan untuk klinikku agar lengkap. Dan kebetulan walaupun ukuran kasurku king size tapi di toko tempatku beli itu sisa satu dan aku mendapat diskon untuk membelinya jadi kubeli.

"Apa kamu mau ganti baju?"
"Nggak usah dok, aku memakai baju didalam jaketku, cuma jaketku yang terkena darah, bajuku nggak,"
"Baiklah, istirahatlah, apa kamu bisa meminum obat? Atau aku harus menginfusmu?"
"Aku bisa minum obat saja dok,"
"Baiklah kalau begitu, aku akan ambilkan obatmu dulu,"
Aku berbalik dan melangkah menuju pintu.

"Dokter Jongche.." tiba-tiba dia memanggil, aku menoleh.

"Terima kasih banyak.." aku mengangguk dan menutup pintu.

Kamu nggak perlu heran kenapa dia tahu namaku. Karena klinikku kunamakan atas namaku sendiri.

dr.KenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang