Chapter 10

1.1K 97 4
                                    

Waktu cepat berlalu, Che sangat sibuk di Klinik dan kini dibantu Ken juga dalam menyiapkan obat-obatan untuk pasien, tentu saja diapun masih belajar dan dibantu oleh perawatnya Che. Setidaknya dia merasa lebih berguna dari pada hanya dikamar memainkan ponsel. Tentu saja ponsel Che, Che memberinya kebebasan untuk memakai ponselnya. Bahkan mengecek semua isinya. Ken tidak melakukannya karena dia tahu Che tak pernah kemanapun selain membeli obat-obatan. Waktunya dihabiskan untuk pasien dan dirinya.

Menjadi pacar Che adalah pengalaman berbeda,selain baru pertama kali bersama orang yang seperti dia, karena lingkungan pergaulan Ken, kebanyakan mantan pacarnya hanya wanita-wanita bar atau orang yang hidup lebih banyak dijalan. Dan kebanyakan bukanlah orang berpendidikan tinggi seperti Che. Bicara dengan Che membuatnya lebih banyak pengetahuan. Membuat dirinya lebih merasa ingin lebih banyak berguna untuk orang lain.

"Suatu saat aku ingin membangun sebuah rumah sakit yang punya peralatan canggih, yang bisa membantu orang-orang yang berekonomi rendah agar tetap bisa mendapatkan pelayanan yang bagus, nggak dibedakan apa dia punya uang atau nggak. Kamu tahu alasan aku keluar dari rumah sakit dan menghabiskan uang tabunganku membangun klinik ini?"

Ken menggeleng ketika mereka sedang mengobrol sebelum tidur. Rutinitas harian karena dari pagi sampai malam mereka tidak bisa banyak bercerita atau kadang tidak sempat bersantai.

"Hari itu, ada seorang bayi usia 6 bulan dibawa karena panas tinggi, dia mengantri periksa, harusnya dia ditangani lebih dulu karena keadaannya sudah masuk kategori gawat darurat tapi seorang pasien VIP yang juga dalam keadaan gawat datang, dan sesuai ketentuan, kami harus mendahulukan pasien VIP, dan pasien itu harus menunggu lebih lama padahal harusnya dia lebih dulu, sampai ibunya berteriak-teriak bahwa bayinya kejang, aku segera keluar menghampiri bayi itu dan menyerahkan pasien vip pada perawat, dan ketika aku bawa keruangan denyut jantungnya melemah, ketika kami mau memasangkan infus, kami nggak berhasil menemukan Vena nya dan dia meninggal..."

Che menunduk terlihat bersedih.

"Disana aku merasa gagal. Andai aku nggak terikat peraturan, andai ibu itu punya uang, mungkin bayi itu masih bisa selamat..." Air mata Che mengalir.

Ken mendekat padanya. Menarik kepala Che di dadanya dan membelainya. Che memeluk tubuh Ken.

"Phi, bolehlah aku membantumu, Mungkin aku nggak pintar, aku nggak berpendidikan, dirumah sakitmu nanti paling aku cuma bisa jadi jasa keamanan,"

Che mengangkat kepalanya dari dada Ken. Kini Ken yang ditarik kepelukannya.

"Tua Aeng, buatku kamu adalah bagian dari mimpi itu, karena aku mau kamu dan aku membantu orang lain, berguna untuk orang lain. Agar kamu bisa tunjukkan, bahwa kamu bukan seorang yang nggak berguna,"

Mata Ken memanas. Air mata nya menetes. Orang yang baru sebulan dia kenal, bisa membuatnya merasa dirinya berarti. Orang ini sedang mengajarkan Ken balas dendam dengan cara yang luar biasa. Selama ini Ken memperlihatkan kekecewaannya dengan terus terlihat liar. Ken lupa untuk membuktikan kata-kata mereka salah. Ken terlalu tenggelam pada sakitnya penghinaan. Che tak pernah menyalahkan semua apa yang Ken lakukan tapi Che memberitahu tentang apa yang setelah ini harus dia lakukan. Ini membuat Ken lagi-lagi merasa dihargai.

"Mungkin Tuhan kasih kamu sebagai kado ulang tahunku besok ya?"

"Kamu ulang tahun besok?" Che terkejut.

Ken bangun dari pelukan Che sambil menatapnya dan mengangguk.

"Kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin?"

"Buat apa? Aku nggak pernah merayakan ulang tahunku, "

"Tapi tahun ini beda, besok kita ambil libur buat makan diluar, sekalian kita belanja bulanan, keperluan di rumah sudah habis,"

dr.KenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang