Jangan lupa vote, komen, dan bagikan ke teman-temannya atau sosmednya.
Happy reading
***
Italia.....
Pesawat yang tengah ditumpangi oleh keluarga Ailen, terlihat berjalan dengan lancar. Gadis itu dan keluarganya, hendak pergi ke Italia, karena dia bakalan melanjutkan SMA di sana, SMA yang sempat tertunda. Sekaligus, menghilangkan masa lalunya yang kelam di negara asalnya, Indonesia. Masa lalu yang membuat batinya tertekan.
Cuaca terlihat sangat bagus, dengan awan tipis yang terlihat mendukung perjalanan hari ini. Begitu juga dengan sang angin yang bertiup sangat pelan tanpa ada pertanda buruk. Tapi, siapa yang menyangka, selang beberapa detik.
Di luar sana, langit telah rata dengan gumpalan awan yang berselimut mendung. Gelap. Hujan mulai merintik sejak beberapa detik lalu dengan dentuman suara petir. Gadis remaja berparas ayu khas Sunda itu masih berdiri, bergeming di tepi jendela pesawat yang ditumpanginya.
Tuhan, mengapa orang yang akan menjadi tunanganku pergi begitu cepat, bahkan sebelum aku sempat mengucapkan salam perpisahan.
Entah, telah berapa kali Ailen merintih lirih dalam setiap hitungan detik. Hatinya terasa sangat sakit dan tidak terima atas kepergian kekasihnya, Nathan. Meski dia memahami bahwa hidup dan mati seseorang sudah tercatat rapi dalam sebuah buku takdir. Tak pernah tertukar dan akan tiba masanya takdir itu tertulis dalam satu waktu.
Tapi kenyataannya, memahami perasaan terhadap seseorang itu lebih mudah, ketimbang menerima takdir yang tidak akan pernah bisa diduga kedatangannya. Semua terasa begitu cepat. Secepat kuda liar yang berlari mengejar kekasihnya. Secepat takdir Tuhan yang tak mungkin bisa diundur oleh siapapun dan kapanpun. Waktu terus berputar, hingga dia tidak bisa melacak takdir. Berhenti berdetak.
Ailen menghela nafas kasar. Dia menoleh ke arah mamanya, Alina yang duduk bersebelahan dengannya. "Apakah masih jauh perjalanan kita, ma?"
Ailen mendengus. "Aku capek, aku ingin bermain di pantai."
Gadis itu tidak pernah merasakan kebebasan selama tinggal di Indonesia. Dia selalu dikekang dalam pengawasan ketat orang tuanya. Itu semua demi kebaikan Ailen, setelah dia melakukan kejang listrik pada kepalanya m
Alina tersenyum lalu mengelus rambut Ailen. "Sebentar lagi kita akan mendarat, sayang."
Ailen tersenyum tipis lalu kembali menatap ke luar jendela. Terlihat laut biru yang sangat luas telah berubah menjadi gelap, akibat terhalang awan hitam. Kelihatannya itu laut Mediterania.
Sial! Takdir berkata lain. Kelihatannya perjalanan mereka akan segera berakhir dengan sebuah pendaratan. Tiba-tiba terdengar bunyi berderak dari bagian mesin pesawat. Pesawat kehilangan keseimbangan. Bagian baling-balingnya terlihat mengeluarkan segumpalan asap tebal.
Seorang pilot berpengalaman, mencoba untuk bersikap tenang. Tangannya menggenggam erat kemudi pesawat agar tidak tumbang. Seakan-akan tidak ingin untuk berakhir detik ini juga. Entah apa yang akan terjadi.
"Mesin rusak, Kep!" seru co-pilot panik.
Co-pilot mencoba untuk tenang. Pilot dan co-pilot berjuang mati-matian agar pesawat tidak mendarat di tempat yang salah. Jalan satu-satunya adalah pendaratan di laut lepas.
"Sepertinya kita kan melakukan pendaratan darurat di lautan!" ujar Pilot.
"Cepat pasangkan radio dan hubungankan ke stasiun pelabuhan. Serukan keadaan darurat, cepat!" titah Pilot panik.
"Baik!" sahut co-pilot langsung bergegas.
Co-pilot segera mengambil mikrofon dan mengumumkan keadaan pesawat, nomor pesawat, dan posisi terakhirnya. Co-pilot terus mengucapakan kalimatnya berulang-ulang, berharap ada yang bisa menolongnya. Tapi, hasilnya nihil. Hingga akhirnya sambungannya terputus begitu saja.
Sedangkan, pramugari dan pramugara yang berdiri di belakang pilot hanya bisa menutup mata sambil berdoa dalam hati. Semoga baik-baik saja Tubuh mereka semua terlihat bergetar hebat. Seakan-akan semuanya telah hilang. Mereka semua telah pasrah. Tidak tahu apa yang akan dilakukan lagi. Tapi, mereka masih tetap berusaha untuk menyelamati ratusan nyawa orang.
Di sisi lain pesawat, alarm darurat berbunyi, menggema di setiap sudut ruangan yang berisi ratusan penumpang. Semua penumpang terlihat panik, resah dan bingung.
Ailen sontak terkejut, hingga pandangannya teralihkan ke arah semua penumpang yang terlihat panik. Gadis itu menoleh ke arah mamanya, Alina. Polos.
"Ada apa, ma? Apakah kita akan mendarat?" tanya Ailen polos.
Alina tersenyum sendu. Dia mengusap rambut anaknya lalu merengkuh tubuh anaknya, Ailen dalam dekapannya. Detik itu juga air mata Alina luruh tanpa henti. Sedangkan, Ailen hanya memasang raut wajah heran, tanpa membalas pelukan Alina.
"Perjalanan kita akan segera berakhir, sayang," lirih Ailen saat dia menyampirkan tangannya di wajah cantik Ailen.
Ailen menyeka air mata mamanya, Alina.
"Maksud, mama?" Ailen menatap heran Alina.
"Kita akan segera mendarat," jawab Alina lirih dengan tangisannya.
Raut wajah Ailen terlihat bahagia. Dia terlihat senang dalam waktu itu. "Apakah kita sebentar lagi akan sampai? Ailen sudah nggak sabar melihat indahnya lautan di Positano. Apakah kita akan ke sana, ma?"
"Tidak, sayang."
Deg.
"Terus?"
"Ke tempat yang lebih indah dan nyaman."
Ailen menghela nafas kasar lalu raut wajahnya berubah menjadi sendu. "Ailen ingin melupakan semuanya di Positano. Semua masa-masa kelam Ailen," lirih Ailen.
Alina menangis semakin menjadi-jadi. Matanya tidak pernah lepas dari anaknya. Penderitaan yang dialami oleh anaknya sudah cukup banyak, hingga dia rela membuat anaknya kesakitan demi melupakan masa lalu anaknya yang kelam. "Semuanya akan berakhir, sayang. Kamu akan bahagia."
Ailen menoleh ke arah Alina dengan bahagia. "Benarkah? Tapi-"
To be continued...
Baru part awal, loh. Part awalnya aja gini. Apalagi part selanjutnya. Makin meresahkan.
Bagaimana menurut kalian part awalnya? Membosankan?
See you next part!
Spam, next!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Psikopat
Teen FictionSeorang psikopat berdarah dingin, kejam, dan sadis. Eric Vrans Aldergan, seorang cowok yang memiliki sisi gelap dan berjuta rahasia. Biasanya cinta dipertemukan dengan indah. Tapi, tidak dengan cowok itu. Afra Aileen Inara, seorang gadis polos yang...